Rabu, 11 Juli 2007

Menulis Hasil Wawancara

Oleh: O. Solihin


Sebenarnya nggak terlalu beda jauh, antara menulis berita, feature, dengan hasil wawancara. Cuma, kayaknya yang membuat beda itu adalah bagaimana merangkum semua hasil ‘obrolan’ kita dengan narasumber yang kita wawancarai. Untuk bisa menuliskan hasil wawancara dengan oke dan enak dibaca, ada beberapa tahapan yang kudu diperhatikan sebelum melakukan wawancara. Sebab, melakukan wawancara adalah satu bagian dalam proses penggalian bahan tulisan. Kita harus bisa mengeksplorasi seluruh kemampuan kita untuk menggali ide-ide yang tertanam dalam benak narasumber kita. Apalagi, jika narasumber yang kita wawancara termasuk tokoh penting dan udah ngetop di kalangan banyak orang.

Nah, ada beberapa persiapan awal sebelum wawancara yang bisa Anda lakukan. Pertama, menentukan topik. Jelas dong, jangan sampe Anda datang ke narasumber dengan ‘kepala kosong’. Ini bakalan menjadi blunder buat Anda yang nekat datang tanpa menentukan topik wawancara. Bukan hanya narasumber yang bakalan bingung, tapi Anda juga akhirya cuma bengong. Sama halnya dengan kalo Anda naik panggung untuk ngisi presentasi, tapi dengan ‘kepala kosong’. Hasilnya, mudah ditebak, Anda bingung! Tul nggak? Kata William Shakespeare, “Barangsiapa yang naik panggung tanpa persiapan, maka ia akan turun dengan kehinaan,” Walah?

Sobat muda muslim, langkah kedua dalam persiapan melakukan wawancara adalah menyiapkan ‘pertanyaan jitu’, ada sebagian wartawan menyebutnya ‘pertanyaan peluru’ (loaded question). Ini akan menentukan tingkat kemampuan si pewawancara. Bahkan sangat boleh jadi akan menghasilkan isi wawancara yang berbobot. Apalagi tokoh yang kita wawancarai memang terkenal dan berpengaruh. Tapi harap diingat dong, bahwa jangan sampe kita terpaku kepada rumusan pertanyaan yang udah kita buat. Itu bisa menjebak kita nantinya dalam kekakuan. Tapi, pastikan bahwa Anda dapat mengembangkan pertanyaan lain saat wawancara terjadi. Jadi bisa bersumber dari pertanyaan narasumber.

Nah, sekarang kita belajar menuliskan hasil wawancara. Untuk mendapatkan tulisan berupa wawancara yang baik, tentunya kita kudu mendapatkan sedetil-detilnya segala macam yang ‘melekat’ pada narasumber. Setelah melakukan wawancara, biasanya ada kesempatan untuk rileks. Nah, di situlah Anda bisa tanya ‘ini-itu’ dari narasumber; misalnya warna favoritnya, olahraga kesukaannya, makanan kesukaannya, tokoh idolanya, pendidikannya, keluarganya, aktivitasnya, pengalaman-pengalaman unik yang dialaminya, dsb. Dengan catatan, jika wawancara ini bersifat ‘eksklusif’, yakni cuma Anda, atau media tempat Anda kerja aja yang melakukan wawancara dengan narasumber tersebut. Kalo wawancara sambil lalu, maka untuk mendapatkan detil dari yang ‘melekat’ pada dirinya, Anda bisa baca via sumber lain yang menceritakan narasumber tersebut. Jadi tenang aja, apalagi jika media massa tempat Anda kerja punya dokumentasi lengkap, maka akan mudah untuk berkreasi dalam menulis hasil wawancaramu.

Sobat muda muslim, kita juga bisa ‘memodifikasi’ tulisan wawancara. Tujuannya supaya pembaca enak untuk menyimaknya. Misalnya begini. Dalam kenyataan saat wawancara, kita mengajukan pertanyaan yang adakalanya panjang banget kan? Biasanya itu dilakukan untuk memperjelas maksud. Nah, dalam tulisan hasil wawancara, tidak perlu ditulis semua pertanyaan kita sesuai rekaman di kaset. Anda bisa memotongnya dengan tanpa mengurangi maksud dari pertanyaan. Contoh: “Bapak bisa jelaskan masalah yang menimpa anak muda sekarang, misalnya dalam masalah pergaulan?” Ini yang kita ucapkan kepada narasumber. Tapi, dalam tulisan hasil wawancara, kita persingkat saja jadi begini, “Bisa dijelaskan pergaulan remaja sekarang?” Lebih hemat kan?

Bisa juga ‘modifikasi’ itu kita lakukan dalam ‘membagi’ jawaban narasumber ke dalam beberapa bagian ‘pertanyaan buatan’ kita. Ini terjadi jika jawaban narasumber kelewat panjang. Nah, supaya pembaca nggak jenuh dengan panjangnya jawaban, maka kita buatkan ‘pertanyaan pembantu’ untuk membagi jawaban tersebut. Tentu dengan tidak menghilangkan maksud dari jawaban narasumber dong. Sekali lagi, ini sekadar mengatasi kejenuhan pembaca.

Terus, yang bisa kita lakukan dalam menulis hasil wawancara adalah mengkreasikan data-data. Supaya tambah ciamik, maka dalam tulisan itu, kita selipkan profil narasumber. Misalnya, “Bapak sembilan anak yang rajin membaca buku ini, terlihat masih segar di usia tuanya. Setiap hari, ia berkeliling komplek perumahan untuk sekadar berolaharga jalan kaki kesukaannya. Suami dari ….. (sebutkan nama istrinya) kelahiran Jakarta 50 tahun silam itu kini aktif sebagai pengurus Partai …. (sebutkan nama partai tempat ia bergabung dan jabatannya)”

Anda bisa buat tulisan tambahan seperti itu sekitar 3 buah. Boleh juga dipadu dengan biodata singkatnya yang ditulis dalam sebuah kertas (minta saja bagian tataletak untuk men-scan kertas tersebut untuk diselipkan dalam lay-out rubrik wawancara tersebut). Pokoknya, buatlah semenarik mungkin hasil kreasimu. Tiap wartawan biasanya punya kreasi tersendiri. Selama itu memang menarik, kenapa tidak? Tul nggak?

Tulisan hasil wawancara akan lebih menarik jika Anda pandai mengolah kata, gabungkan dengan tip yang sudah saya sampaikan di awal; membuat judul, hemat kata, dan tentunya kaya dengan kosakata. Ditanggung antimanyun deh.

Oke, sekarang mulailah menyiapkan segalanya untuk wawancara. Sudah siap? Yup, sebelum lupa, yang penting lagi sebelum melakukan wawancara adalah mental. Selain kudu percaya diri, Anda juga ‘wajib’ punya mental juara. Sebab, adakalanya narasumber itu ‘ngerjain’ kita. Saya dan seorang teman pernah melakukan wawancara dengan Pak Amien Rais (waktu itu masih Ketua PP Muhammadiyah). Wuih, sampe empat kali bolak-balik Bogor-Jakarta. Jadi, nggak mesti sekali jadi. Maklumlah tokoh penting. Akhirnya dapet juga, meski dengan susah payah. Kejar terus sampe dapet! []

‘Bermesraan’ dengan Feature

Oleh: O. Solihin

Apa sih definisi feature? Menurut Asep Syamsul M. Romli dalam bukunya “Jurnalistik Praktis”, dikatakan bahwa batasan pengertian (definisi) feature, para ahli jurnalistik belum ada kesepakatan. Masing-masing ahli memberikan rumusannya sendiri tentang feature. Jadi, tidak ada rumusan tunggal tentang pengertian feature. Yang jelas, feature adalah sebuah tulisan jurnalistik juga, namun tidak selalu harus mengikuti rumus klasik 5W + 1 H dan bisa dibedakan dengan news, artikel (opini), kolom, dan analisis berita. “Kita punya kisah atas fakta-fakta telanjang,” kata William L Rivers, “dan itu kita sebutkan sebagai ‘berita’. Disamping berita kita jumpai lagi tajuk rencana, kolom, dan tinjauan, yang kita sebutkan ‘artikel’ atau ‘opinion pieces’. Sisanya yang terdapat dalam lembaran surat kabar, itulah yang disebutkan karangan khas (feature).

Asep Syamsul M. Romli menjelaskan pula bahwa dari sejumlah pengertian feature yang ada, dapat ditemukan beberapa ciri khas tulisan feature, antara lain:

  1. Mengandung segi human interest

Tulisan feature memberikan penekanan pada fakta-fakta yang dianggap mampu menggugah emosi—menghibur, memunculkan empati dan keharuan. Dengan kata lain, sebuah feature juga harus mengandung segi human interest atau human touch—menyentuh rasa manusiawi. Karenanya, feature termasuk kategori soft news (berita ringan) yang pemahamannya lebih menggunakan emosi. Berbeda dengan hard news (berita keras), yang isinya mengacu kepada dan pemahamannya lebih banyak menggunakan pemikiran.

  1. Mengandung unsur sastra

Satu hal penting dalam sebuah feature adalah ia harus mengandung unsur sastra. Feature ditulis dengan cara atau gaya menulis fiksi. Karenanya, tulisan feature mirip dengan sebuah cerpen atau novel—bacaan ringan dan menyenangkan—namun tetap informatif dan faktual. Karenanya pula, seorang penulis feature pada prinsipnya adalah seorang yang sedang bercerita.

Jadi, feature adalah jenis berita yang sifatnya ringan dan menghibur. Ia menjadi bagian dari pemenuhan fungsi menghibur (entertainment) sebuah surat kabar.

Jenis-jenis Feature

Ada beberapa jenis feature, di antaranya adalah:

  1. Feature berita yang lebih banyak mengandung unsur berita, berhubungan dengan peristiwa aktual yang menarik perhatian khalayak. Biasanya merupakan pengembangan dari sebuah straight news. Misalnya, menulis berita tentang persiapan penyerangan AS ke Irak. Untuk menulis berita tersebut yang kental unsur feature-nya, bisa cerita tentang kondisi para serdadu AS yang dikirim ke kawasan Teluk, kekuatan mesin-mesin perang AS dan Irak, atau bisa juga bercerita tentang keluarga tentara yang ditinggalkan. Bisa juga berkisah tentang rakyat Irak ketika menghadapi serangan Amrik tersebut. Banyak hal yang bisa ditulis.
  2. Feature artikel yang lebih cenderung segi sastra. Biasanya dikembangkan dari sebuah berita yang tidak aktual lagi atau berkurang aktualitasnya. Misalnya, tulisan mengenai suatu keadaan atau kejadian, seseorang, suatu hal, suatu pemikiran, tentang ilmu pengetahuan, dan lain-lain yang dikemukakan sebagai laporan (informasi) yang dikemas secara ringan dan menghibur. Misalnya, menulis tentang kondisi kaum muslimin di berbagai belahan dunia.

Oke deh, sekarang kita bahas berdasarkan tipenya. Untuk persoalan ini, feature dapat dibedakan menjadi (ini saya ‘modifikasi’ dari tulisannya Asep Syamsul M. Romli):

  1. Feature human interest (langsung sentuh keharuan, kegembiraan, kejengkelan atau kebencian, simpati, dan sebagainya). Misalnya, cerita tentang penjaga mayat di rumah sakit, kehidupan seorang petugas kebersihan di jalanan, liku-liku kehidupan seorang guru di daerah terpencil, suka-duka menjadi dai di wilayah pedalaman, atau kisah seorang penjahat yang dapat menimbulkan kejengkelan.
  2. Feature pribadi-pribadi menarik atau feature biografi. Misalnya, riwayat hidup seorang tokoh yang meninggal, tentang seorang yang berprestasi, atau seseorang yang memiliki keunikan sehingga bernilai berita tinggi. Itu sebabnya, Anda bisa menuliskan tentang profil para pemimpin Islam di masa lalu, misalnya. Atau Anda juga bisa cerita tentang kisahnya al-Khawarizmi, ilmuwan muslim yang menemukan angka nol.
  3. Feature perjalanan. Misalnya kunjungan ke tempat bersejarah di dalam ataupun di luar negeri, atau ke tempat yang jarang dikunjungi orang. Dalam feature jenis ini, biasanya unsur subjektivitas menonjol, karena biasanya penulisnya yang terlibat langsung dalam peristiwa/perjalanan itu mempergunakan “aku”, “saya”, atau “kami” (sudut pandang—point of view—orang pertama). Ambil contoh tentang perjalanan menunaikan ibadah haji. Perjalanan ke tanah suci itu bisa Anda tuangkan dalam sebuah tulisan bergaya feature yang menarik. Itu sebabnya, disarankan untuk membawa buku catatan kecil untuk menuliskan semua peristiwa yang dialami sebagai bahan penulisan. Pokoknya, sip deh.
  4. Feature sejarah. Yaitu tulisan tentang peristiwa masa lalu, misalnya peristiwa Keruntuhan Khilafah Islamiyah, sejarah tentang Istana al-Hamra dan benteng Granada. ‘Melongok’ kejayaan Islam di masa lalu. Sejarah tentang kekejaman tentara Salib saat membantai kaum muslimin, sejarah pertama kali Islam masuk ke Indonesia dan sebagainya. Banyak kok sejarah yang bisa kita tulis dengan jenis feature ini. Pokoknya asyik deh.
  5. Feature petunjuk praktis (tips), atau mengajarkan keahlian—how to do it. Misalnya tentang memasak, merangkai bunga, membangun rumah, seni mendidik anak, panduan memilih perguruan tinggi, cara mengendarai bajaj, teknik beternak bebek, seni melobi calon mertua dan sebagainya.

Membuat Tulisan Feature

Harus diakui bahwa yang terpenting dalam pembuatan tulisan berjenis feature ini adalah lead. Kekuatannya ada di sana. Lead ibarat pembuka jalan. Jadi harus benar-benar menarik dan mengundang rasa penasaran pembaca untuk terus membaca. Sebab, gagal dalam menuliskan lead pembaca bisa ogah meneruskan membaca. Nah, gagal berarti kehilangan daya pikat. Itu sebabnya, penulis feature harus pinter betul menggunakan kalimatnya. Bahasa harus rapi dan terjaga bagus dan cara memancing itu haruslah jitu. Memang sih, nggak ada teori yang baku tentang menulis lead sebuah feature. Semuanya berdasarkan pengalaman dan juga perkembangan. Saya modifikasi dari perkembangan yang saya lihat di berbagai media massa dan sedikit teori umum tentang itu. Namun, sebagai garis besar beberapa contoh lead bisa disebutkan sebagai berikut:

Lead Ringkasan:

Lead ini hampir mirip dengan berita biasa, bedanya, yang ditulis adalah inti ceritanya. Banyak penulis feature menulis lead gaya ini karena gampang. Misal: Usia tua bukan halangan bagi Bu Maryam untuk tetap bertahan jualan gado-gado di kantin sekolah kita. Ia, dengan semangat tinggi bertekad menghidupi anaknya agar bisa sekolah seperti yang lain. Dan seterusnya.... Pembaca sudah bisa menebak, yang mau ditulis adalah penjual makanan bernama Bu Maryam yang sudah tua.

Lead Bercerita:

Lead ini menciptakan suatu suasana dan membenamkan pembaca seperti ikut jadi tokohnya. Misal: Anak berseragam putih-abu itu menenteng balok kayu. Sorot matanya tajam bagai elang mengincar mangsanya. Sejurus kemudian ia memberi komando untuk menyerang lawannya dari sekolah lain. Tawuran pun tak bisa dihindari lagi. Warga sekitar kejadian, yang kebanyakan ibu-ibu ketakutan menyaksikan drama itu... Pembaca masih bertanya apa yang terjadi. Padahal feature itu bercerita tentang maraknya tawuran pelajar yang selama ini selalu bikin resah.

Lead Deskriptif:

Lead ini menceritakan gambaran kepada pembaca tentang suatu tokoh atau suatu kejadian. Penulis yang hendak menulis profil seseorang, biasanya seneng banget bikin lead kayak begini. Misal: Sesekali wanita tua itu mengelap keringatnya yang mengucur dengan ujung kebayanya, ia terus mengulek bumbu pecel. Sementara anak-anak sekolah sibuk berebutan membeli gorengan di kantin sekolah itu. Meski banyak anak yang suka curang dengan tidak membayar dagangannya, Bu Maryam tak pernah ambil pusing, “Mungkin dia tidak punya uang”, katanya suatu saat..... dst....Pembaca mudah terhanyut oleh lead begini, apalagi penulisnya ingin membuat kisah Bu Maryam yang bak pelangi.

Lead Pertanyaan:

Lead ini menantang rasa ingin tahu pembaca, asal dipergunakan dengan tepat dan pertanyaannya wajar saja. Lead begini sebaiknya satu alinea dan satu kalimat, dan kalimat berikutnya sudah alinea baru. Misal: Untuk apa mereka berjihad ke Irak? Memang ada yang sinis dengan dibukanya pendaftaran relawan untuk berjihad ke Irak, menyusul invasi AS dan sekutunya ke negeri seribu satu malam itu 20 Maret lalu. Bahkan pemerintah pun menanggapi dingin rencana tersebut bahkan ada yang pejabat yang mengatakan “konyol” terhadap rencana tersebut...dst....Pembaca kemudian disuguhi feature tentang rencana relawan yang akan berjihad ke Irak.

Lead Nyentrik:

Lead ini nyentrik, ekstrim, bisa berbentuk puisi atau sepotong kata-kata pendek. Hanya baik jika seluruh cerita bergaya lincah dan hidup cara penyajiannya. Misal:

Hancurkan Amerika!

Tangkap Bush!

Bush Teroris!

Tegakkan Khilafah

Hancurkan demokrasi!

Teriakan itu bersahut-sahutan dari ribuan pendemo di depan Kedubes AS dalam unjuk rasa menentang invasi AS dan sekutunya ke Irak .... dst.... Pembaca akan disuguhi feature tentang tuntutan para pengunjuk rasa tersebut.

Lead Menuding:

Lead ini berusaha berkomunikasi langsung dengan pembaca dan ciri-cirinya adalah ada kata “Anda” atau “Saudara” (bisa juga Anda). Pembaca sengaja dibawa untuk menjadi bagian cerita, walau pembaca itu tidak terlibat pada persoalan. Misal: Anda jangan bangga dulu punya HP oke. Meski kemana-mana nenteng ponsel yang fiturnya seabrek, boleh jadi Anda buta tentang teknologi telgam ini dst....

Lead Kutipan:

Lead ini bisa menarik jika kutipannya harus memusatkan diri pada inti cerita berikutnya. Dan tidak klise. Misal: “Saya akan terus berjuang sampai titik darah yang penghabisan. Lebih baik mati daripada menanggung derita karena dijajah Israel,” kata seorang pemuda Palestina dengan lantangnya saat membakar bendera Israel di Tepi Barat dalam sebuah demonstrasi yang digelar ratusan pejuang Palestina itu... dan seterusnya. Pembaca kemudian digiring pada kisah perjuangan rakyat Palestina.

Lead Gabungan:

Ini adalah gabungan dari beberapa jenis lead tadi. Misal: “Saya tak pernah merasa gentar menghadapi serbuan AS dan sekutunya” kata Saddam Husein dalam pidato yang berapi-api itu. Ia tetap tersenyum cerah dan melambai-lambaikan tangannya di hadapan ribuan rakyat Irak di sela-sela pidatonya itu.... Ini gabungan lead kutipan dan deskriptif. Dan lead apa pun bisa digabung-gabungkan. Coba ya...

Nah, setelah kita membuat lead, jangan lupa membuat isinya, yakni yang disebut dengan “Batang Tubuh”. Lead yang menarik, tentu harus didukung dengan batang tubuh yang oke juga. Tapi yang jelas fokus cerita jangan sampai menyimpang. Buatlah kronologis, berurutan dengan kalimat sederhana dan pendek-pendek (lihat tip ke-8, “Hindari Kalimat Raksasa”). Terus deskripsi, baik untuk suasana maupun orang (profil) mutlak untuk pemanis sebuah feature.

Kalau dalam berita, cukup ditulis begini: Bu Maryam penjual makanan yang sabar di kantin sekolah kita. Paling hanya dijelas kan sedikit soal Bu Maryam. Tapi dalam feature, Anda dituntut lebih banyak. Profil lengkap Bu Maryam diperlukan, agar orang bisa membayangkan. Tapi tak bisa dijejal kayak begini: Bu Maryam, penjual makanan di kantin sekolah kita, yang sudah tua dan menjanda, umurnya 50 tahun, anaknya 6, rumahnya di Tanah Abang, tetap sabar. Walah, itu mah kurang greget atuh. He..he..

Anda harus memecah data-data itu. Misalnya, alenia pertama cukup ditulis: Bu Maryam, 50 tahun, penjual yang sabar. Lalu jelaskan tentang contoh kesabarannya. Bu Maryam yang sudah tua tak kenal lelah berjualan, untuk menghidupi keenam anaknya yang sebagian masih berusia remaja. Di bagian lain bisa ditulis: “Demi anak-anak, saya rela membanting tulang kerja keras” kata wanita yang ditinggal mati suaminya 10 tahun lalu dan kini tinggal di sebuah rumah di kawasan Tanah Abang. Dan seterusnya.

Anekdot perlu juga untuk sebuah feature. Tapi jangan mengada-ada dan dibikin-bikin ya? Jadi nggak menarik nantinya. Kutipan ucapan juga penting, agar pembaca tidak jenuh dengan suatu reportase. Nah, detil penting tetapi harus tahu kapan terinci betul dan kapan tidak. Misalnya, Bis itu masuk jurang dengan kedalaman 15 meter lebih 40 centi 8 melimeter..., apa pentingnya itu? Sebut saja sekitar 15 meter.

Beda dengan yang ini: Gol kemenangan Juventus dicetak Pavel Nedved pada menit ke 44, ini penting. Sebab nggak bisa disebut sekitar menit ke 45. Kenapa? Karena menit 45 sudah setengah main. Dalam olahraga sepakbola, menit ke 41 beda jauh dengan menit ke 35. Bahkan dalam atletik, waktu 10.51 detik banyak bedanya dengan 10.24 detik. Belum lagi ngitung waktu dalam arena balapan F1, seper sekian detik juga akan diperhitungkan. Tul nggak?

Oya, ‘kecanggihan’ lead dan batang tubuh nggak bakalan sempurna kalo nggak ada ‘ending’ (penutup). Kalo dalam berita malah tidak ada penutup. Untuk feature paling nggak ada empat jenis penutup. Pertama, penutup “Ringkasan”. Sifatnya merangkum kembali cerita-cerita yang lepas untuk mengacu kembali ke intro awal atau lead. Kedua, penutup “Penyengat”. Jadi, membuat pembaca kaget karena sama sekali tak diduga-duga. Misalnya, menulis feature tentang gembong pelaku curanmor yang berhasil ditangkap setelah melakukan perlawanan. Kisah sudah panjang dan seru, pujian untuk petugas polisi sudah datang, dan sang penjahat itu pun sudah menghuni sel tahanan. Tapi, ending feature adalah: Esok harinya, penjahat itu telah kabur kembali. Gubrak!

Ketiga, penutup “Klimak”. Ini penutup biasa karena cerita yang disusun tadi sudah kronologis. Jadi penyelesaiannya jelas. Keempat, penutup “Tanpa Penyelesaian”. Cerita berakhir dengan mengambang. Ini bisa taktik penulis agar pembaca merenung dan mengambil kesimpulan sendiri, tetapi bisa pula masalah yang ditulis memang menggantung, masih ada kelanjutan, tapi tak pasti kapan. Misalnya: Entah sampai kapan perang AS-Irak ini akan berakhir.

Yup, ini sekilas aja tentang teknik penulisan feature. Anda bisa mencari ide untuk bahan penulisan dari kehidupan sehari-hari, berita aktual, kehidupan seseorang, dan peristiwa lainnya. Sebab, yang terpenting ada newspeg, alias cantelan berita, karena feature bukan fiksi. Ia fakta yang ditulis dengan gaya mirip fiksi. Banyak hal yang bisa ditulis dengan gaya feature. Buat menambah wawasan dan mengasah keterampilanmu, seringlah membaca tulisan orang lain dengan gaya penulisan feature. Pelajari, dan buatlah dengan gaya bahasamu. Sip kan? Ditanggung antimanyun deh. Selamat mempraktikkan[]

Senin, 02 Juli 2007

Sekilas tentang Jurnalistik

Oleh: O. Solihin

Menurut Webster Dictionary, journalism (jurnalisme) adalah kegiatan mengumpulkan berita atau memproduksi sebuah surat kabar. Dengan kata lain, jurnalisme adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang wartawan, sedangkan jurnalistik merupakan kata sifat (ajektif) dari jurnalisme.

Dalam kamus lain, mengartikan jurnalistik sebagai “hal yang menyangkut kewartawanan”. Dalam penggunaan sehari-hari orang sering menggunakan kedua istilah ini (jurnalisme dan jurnalistik) untuk satu pengertian, yakni “kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis untuk surat kabar atau media lainnya (cetak maupun elektronik).

Untuk lebih tegasnya, jurnalistik adalah, proses kegiatan meliput, memuat, dan menyebarluaskan peristiwa yang bernilai berita (news) dan pandangan (views) kepada khalayak melalui saluran media massa (cetak dan elektronik) (Asep Syamsul M Romli: Jurnalistik Praktis)

Berita

Dalam jurnalistik, begitu banyak pengertian berita. Masing-masing orang memberikan definisi berita berdasarkan sudut pandang sendiri-sendiri dalam merumuskannya. Dalam buku Reporting, Mitchell V. Charnley menuliskan beberapa definisi berita:

“Berita adalah segala sesuatu yang terkait waktu dan menarik perhatian banyak orang dan berita terbaik adalah hal-hal yang paling menarik yang menarik sebanyak mungkin orang (untuk membacanya).” Ini definisi menurut Willard Grosvenor Bleyer.

Menurut Chilton R. Bush, berita adalah informasi yang “merangsang”, dengan informasi itu orang biasa dapat merasa puas dan bergairah. Sementara Charnley sendiri menyebutkan bahwa berita adalah laporan tentang fakta atau pendapat orang yang terikat oleh waktu, yang menarik dan/atau penting bagi sejumlah orang tertentu.

Nah, dari sekian definisi atau batasan tentang berita itu, pada prinsipnya ada beberapa unsur penting yang harus diperhatikan dari definisi tersebut. Yakni:

  1. Laporan
  2. Kejadian/peristiwa/pendapat yang menarik dan penting
  3. Disajikan secepat mungkin (terikat oleh waktu)

Dalam jurnalistik juga dikenal jenis berita menurut penyajiannya. Pertama, Straight News (sering juga disebut hard news), yakni laporan kejadian-kejadian terbaru yang mengandung unsur penting dan menarik, tanpa mengandung pendapat-pendapat penulis berita. Straight news harus ringkas, singkat dalam pelaporannya, namun tetap nggak mengabaikan kelengkapan data dan obyektivitas.

Kedua, Soft News (sering disebut juga feature), yakni berita-berita yang menyangkut kemanusiaan serta menarik banyak orang termasuk kisah-ksiah jenaka, lust (menyangkut nafsu birahi manusia), keanehan (oddity).

Menulis berita

Oya, ada satu hal lagi tentang berita, selain kita harus memenuhi kaidah 5W+H (What, Who, Where, When, Why plus How), yakni menuliskan hasil laporan atau pengamatan terhadap peristiwa atau pendapat yang menarik itu. Intinya, adalah menuliskan berita itu ke dalam artikel yang menaik. Nah, supaya tulisan beritamu oke punya. Paling nggak kamu kudu mengetahui beberapa hal, di antaranya:

  1. Informasi. Yup, informasi, bukan bahasa. Informasi adalah batu-bata penyusun berita yang yang efektif. Tanpa informasi, walah jangan harap kamu bisa menulis berita itu dengan baik. Jangankan nggak punya informasi, informasinya nggak lengkap saja bakalan kewalahan bikin beritanya. Pokoknya, ada yang ganjal saja, karena tulisan jadi kurang menggigit.
  2. Siginifikansi. Maksudnya, berita kudu memiliki informasi penting; yakni memberi dampak pada pembaca. Misalnya aja, penulisnya mengingatkan pembaca kepada sesuatu yang mengancam kehidupan mereka.
  3. Fokus. Betul, kegagalan seorang penulis berita adalah ketika menyampaikan berita secara sporadis, alias semrawut. Nggak fokus. Berita yang sukses dan oke biasnya justru pendek, terbatasi secara tegas dan sangat fokus. “Less is more,” kata Hemingway.
  4. Konteks. Tulisan yang efektif mampu meletakkan informasi pada perspektif yang tepat sehingga pembaca tahu dari mana kisah berawal dan ke mana mengalir, serta seberapa jauh dampaknya.
  5. Wajah. Jurnalisme itu menyajikan gagasan dan peristiwa; tren sosial, penemuan ilmiah, opini hukum, perkembangan ekonomi, krisis internasional, tragedi kemanusiaan, dinamika agama, dsb. Tulisan yang disajikan itu berupaya mengenalkan pembaca kepada orang-orang yang menciptakan gagasan dan menggerakkan peristiwa. Atau menghadirkan orang-orang yang terpengaruh oleh gagasan dan peristiwa itu.
  6. Lokasi/Tempat. Sobat muda, pembaca menyukai banget “sense of place”. Kamu bisa membuat tulisan jadi lebih hidup jika menyusupkan “sense of place”. Bener lho. Misalnya aja kamu gambarkan tentang suasana jalannya pertandingan sepakbola yang menegangkan saat kedua klub itu bermain hidup-mati untuk mengejar gelar juara atau menghindari jurang degdradasi. Seru deh.
  7. Suara. Tulisan akan mudah diingat jika mampu menciptakan ilusi bahwa seorang penulis tengah bertutur kepada seorang pembacanya. Jadi, gunakan kalimat aktif. Bila perlu berbau percakapan.
  8. Anekdot dan Kutipan. Anekdot adalah sebuah kepingan kisah singkat antara satu hingga lima alinea—“cerita dalam cerita”. Anekdot umumnya menggunakan seluruh teknik dasar penulisan fiksi; narasi, karakterisasi, dialog, suasana. Semua itu dibuat dengan tujuan untuk mengajak pembaca melihat cerita dalam detil visual yang kuat. Kata orang-orang sih, anekdot sering dianggap sebagai ‘permata’ dalam cerita.

Nilai berita

Nilai berita adalah seperangkat kriteria untuk menilai apakah sebuah kejadian cukup penting untuk diliput. Ada sejumlah faktor yang membuat sebuah kejadian memiliki nilai berita. 7 di antaranya adalah:

  1. Kedekatan (proximity). Ada dua hal tentang kedekatan. Pertama dekat secara fisik dan kedua, kedekatan secara emosional. Orang cenderung tertarik bila membaca berita yang peristiwa atau kejadiannya dekat dengan wilayahnya dan juga perasaan emosional berdasarkan ikatan tertentu.
  2. Ketenaran (prominence). Orang terkenal memang sering menjadi berita. Seperti kata ungkapan Barat, Name makes news. Bintang film, sinetron, penyanyi, politisi ternama seringkali muncul di koran dan juga televisi.
  3. Aktualitas (timeliness). Berita, khususnya straight news, haruslah berupa laporan kejadian yang baru-baru ini terjadi atau peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa depan.
  4. Dampak (impact). Sebuah kejadian yang memiliki dampak pada masyarakat luas memiliki nilai berita yang tinggi. Semakin besar dampak tersebut bagi masyarakat, semakin tinggi pula nilai beritanya.
  5. Keluarbiasaan (magnitude). Sebenarnya hampir sama dengan dampak, namun magnitude di sini menyangkut sejumlah orang besar, prestasi besar, kehancuran yang besar, kemenangan besar, dan segala sesuatu yang besar.
  6. Konflik (conflict). Berita tentang adanya bentrokan, baik secara fisik maupun nonfisik, selalu menarik. Misalnya bentrokan antar manusia, manusia dengan binatang, antar kelompok, bangsa, etnik, agama, kepercayaan, perang dsb.
  7. Keanehan (oddity). Sesuatu yang tidak lazim (unusual) mengundang perhatian orang di sekitarnya. Orang yang berdandan esktrentrik, orang yang bergaya hidup nggak umum, memiliki ukuran fisik yang beda denga yang lain pada umumnya, dsb cenderung jadi berita yang bernilai tinggi.

Daya tarik berita (News interest).

Beberapa topik yang mengandung daya tarik berita di antaranya adalah: self-interest,

uang, seks, perjuangan, pahwalan dan keterkenalan, suspence (mencekam), human interest, kejadian (perayaan) dengan lingkup besar, kontes, penemuan baru, hal yang tidak biasa, kejahatan, dsb.

Sumber informasi untuk bahan berita

Ada beberapa sumber perolehan berita:

  1. Staf surat kabar, yaitu personal yang bekerja pada redaktur surat kabar tertentu, berkantor di redkasi surat kabar tersebut.
  2. Koresponden, yaitu wartawan yang bekerja untuk media atau kantor berita tertentu dan tidak berkantor di kantor redaksi.
  3. Kantor berita (news agencies), yakni lembaga yang khusus berita-berita dalam dan luar negeri serta beraneka jenisnya untuk kemudian dijual ke berbagai media massa.
  4. Features Syndicates, yaitu lembaga yang khusus “menjual” kepada penerbit.
  5. Kalangan publisitas, yaitu orang-orang atau kelompok yang bekerja mempopulerkan orang-orang atau peristiwa.
  6. Volunteer staff, yaitu orang-orang awam atau bukan kalangan pers yang akan memberi informasi berharga tentang gejala dan kejadian yang bisa diangkat sebagai berita.

Syarat sumber berita

Sebuah tulisan jurnalistik haruslah bersumber dari fakta, bukan opini atau asumsi si reporter. Itu sebabnya, harus ada sumber berita yang jelas dan dapat dipercaya. Ada beberapa syarat sumber berita:

  1. Layak dipercaya, meski kelihatan mudah, tapi wartawan yang belum berpengalaman akan kejeblos mewawancarai sumber yang diragukan kebenaran omongannya. Jadi kudu jeli dan kritis ketika mengamati peristiwa atau kejadian dan siapa saja yang terlibat di dalamnya.
  2. Berwenang, artinya orang yang punya kekuasaan dan tanggung jawab terhadap masalah yang sedang kita garap. Kenapa ini penting? Pertama, agar tercapai keseimbangan penulisan berita yang balance (seimbang) dan both-sided coverage (liputan yang menyajikan keterangan dua pihak yang bertolak-belakang sehingga fair atau adil). Kedua, agar tulisan atau laporan bisa aman.
  3. Kompeten, artinya sumber berita tersebut layak untuk dimintai keterangannya.
  4. Orang yang berkaitan langsung dengan peristiwa, yaitu sumber berita yang memiliki hubungan, terpengaruh atau mempengaruhi peristiwa tersebut.

Demikian sekilas tentang dasar-dasar jurnalistik, khususnya yang berkaitan dengan sebuah pemberitaan. Masih banyak unsur lainnya dalam jurnalistik seperti manajemen media massa, jenis-jenis tulisan di media massa, termasuk tentang kode etik jurnalistik. Bisa dibahas pada kesempatan lain, atau bisa juga mencari informasi sendiri. Semoga saja ilmu yang meski masih sedikit ini menjadi tambahan wawasan. Tapi intinya, jangan pernah merasa puas mendapatkan sedikit ilmu. Terus belajar, belajar, dan belajar. Tetep semangat![]


Konsentrasi dan Bekerja

Untuk melamar pekerjaan, memang perlu sejumlah syarat. Ada ijasah,a da pas foto, dan macam-macam lampiran yang kadang-kadang tidak relevan. Tetapi untuk mengarang, Anda tak perlu harus sarjana, pengalaman sekian tahun, atau punya kartu pers. Penggunaan gelar dan surat-surat keterangan sangat berguna kalau Anda tidak punya nyali.

Tulisan yang buruk tak dapat diperbaiki hanya dengan cara menempelkan gelar Prof. Dr. di depan nama penulisnya. Penulis tulen tidak akan menakut-nakuti pembacanya dengan pangkat, titel, apalagi ancaman bahwa ia orang sakti. Masyarakat tidak bisa dikecoh bungkusan bagus, tanpa isi.

Cendekiawan sejati biasanya justru mengakrabkan diri dengan masyarakat luas. Misalnya dilakukan oleh Aryanti. Siapa mengira kalau penulis cerpen dan novelis ini adalah ahli Sansekerta terkemuka di dunia, dan pernah menjadi Menteri Sosial RI. Dia adalah Prof. Dr. Haryati Soebadio.

Keyakinan bahwa yang penting penampilan hanya benar bagi calon pengarang gagal. Yang penting tetap isi. Teknik yang kuat ibarat pot yang menentukan ukuran tanaman. Sebatang palem raja tidak mungkin ditanam dalam pot tanah liat kecil. Sebaliknya selembar daun bawang cukup disuburkan dalam bekas kaleng susu. Begitu pula sebatang cabe rawit dan seledri.

Dengan kata lugas: teknik akan mengikuti isi. Untuk mengungkapkan masalah besar, tidak mungkin Anda memilih format iklan baris. Sebaliknya, sepotong anekdot akan hilang daya lucunya, bila dimuat bersambung seperti roman.

Memilih topik

Topik apakah yang baik dipilih untuk buku harian? Kiat paling umum adalah menulis sesuatu yang paling berkesan. Itu bisa menggembirakan, menyedihkan, menjengkelkan atau membosankan. Pengalaman pertama di kantor baru, biasanya memberi peluang kita menulis panjang-panjang. Segala sesuatu yang masih baru memang bisa dibicarakan panjang lebar. Itu bisa berarti rumah baru, tahun baru, kenalan baru, hidup baru, maupun hutang baru.

Segala sesuatu yang baru pertama kali terjadi sering dianggap penting. Penulis buku harian yang baik, perlu memilih dan mengolah hal-hal terbaru apa yang dialaminya hari ini. tanpa kemauan dan keinginan memilih hal baru, buku harian akan jadi PR menulis halus. Artinya: mengulang-ulang kaimat kemarin saja. Sedangkan kalau Anda pandai mencari topik baru, siapa tahu bakal jadi wartawan.

Topik-topik tidak usah dibeli. Anda bisa memperolehnya dari dalam kepala atau mati hati sendiri. Boleh juga mendengar atau baca kanan kiri. Kalau sukar, belilah koran, bacalah judul-judulnya. Cari satu yang menarik dan kembangkan dengan cara sendiri. Siapa tahu Anda bisa menulis versi lain dari berita peresmian pabrik kacamata. Atau membuat reportase fiktif korban perkosaan. Atau menyusun pidato seolah-olah Anda menteri penerangan bayangan. Siapa tahu tiba-tiba Anda betul-betul harus menyusun pidato pemakaman, perceraian, dan ulangtahun anak tetangga.

Di dunia ini banyak hal yang tak terduga. Dan itu yang membuat orang bisa hidup jadi pengarang. Kalau semua sudah serba pasti, semua calon pengarang boleh jadi pilot. Yang membuat dunia mengarang unik adalah tidak adanya kepastian mutlak. Semua masih serba kemungkinan. Berbagai kemungkinan inilah yang membuat orang suka menerima surat.

Tinggal sekarang, bagaimana menyajikan berbagai kemungkinan itu dalam surat yang kita kirim. Surat yang pasti-pasti, biasanya tidak menarik. Orang menyebutnya sebagai surat dinas. Isinya bisa keputusan naik pagkat, lamaran ditolak, naik gaji, dipecat atau perintah harian. Kenikmatan membaca surat dinas, biasanya terpusat pada nomor surat dan perihalnya. Selebihnya bikin saja fotokopi banyak-banyak, supaya ikut dinikmati mertua.

Itulah pentingnya topik untuk surat dinasa. Untuk artikel lain lagi. Topik bisa dicari sesuai dengan minat Anda. Kalau Anda berminat menulis rahasia kecantikan. Tidak usah bicara. Jangan ngomong kepada siapa pun, langsung saja tulis. Topik adalah rahasia jangka panjang yang baru boleh diumumkan sesudah sebagian terwujud dalam tulisan.

Topik surat, buku harian, artikel, buku, cerpen, novel, puisi, adalah soal mudah. Apa saja bisa ajadi topik. Kalau semasih kanak-kanak Anda bisa membuat apa saja jadi mainan, maka setelah dewasa, segalanya bisa jadi karangan. Batu, embun, sungai, kucing, rumah, sambal terasi, semua bisa jadi topik menarik.

Yang penting Anda mau diam dan menulis. Semua pasti keluar dengan sendirinya. Banyak orang merasa sudah siap mengarang. “Isinya sudah tahu, judulnya sudah siap, bahan-bahannya lengkap. Tinggal nulis saja,” katanya. Kalau Anda seorang penerbit, tamu yang berkata seperti itu tak usah diberi minum. Suruh dia lekas pulang, dan kembali esok pagi, membawa semua yang konon “sudah ada” padanya.

Masalah umum untuk mengarang bukan topik, bukan bahan, bukan juga teknis menulis. Masalah inti buat calon pengarang adalah duduk tenangm berkonsentrasi dan menuangkan isi pikiran, perasaan secepat-cepatnya. Kalau tidak ditulis sekarang, mau kapan lagi? Besok perasaan Anda sudah berubah. Minat berganti, dan mungkin kiamat.

Kerangka tulisan

Di sekolah ada banyak guru yang bisa bicara panjang lebar tentang kerangka tulisan. Istilah populernya outline. Maksudnya adalah membuat garis besar buat karangan. Tapi kalau Anda ketemu pengarang seperti Putu Wijaya, Danarto, Yudhistira Massardi, dan Budi Darma, jangan tanya outline. Banyak pengarang tidak tahu dan tidak peduli, pada garis besar. Mereka menyuruh pembacanya membuat garis besar sendiri nanti kalau karangannya sudah jadi.

Tapi kalau Anda mau jadi penulis kontrak yag bekerja untuk bisnis penerbitan, jangan main-main masalah outline. Sebaiknya Anda rajin-rajin menabung garis besar. Buat saja rancangan buku sebanyak-banyaknya sampai Anda sendiri bigung mana yang harus ditulis duluan. Membuat rancangan itu pekerjaan sambilan buat pengarang sejati. Kalau ada waktu luang, bikin saja seolah-olah sebuah novel sudah jadi. Atau tuntunan pemsaran, psikologi terapan, teknologi tepat guna. Buku-buku pertanian, bisa juga Anda susun garis besarnya.

Misalnya Anda mau bicara tentant sawo. Mulai saja menyusun outline seperti ini:

  1. Sifat dan jenis sawo
  2. Cara memperoleh bibit sawo
  3. Hama tanaman sawo
  4. Perawatan dan panen
  5. Bisnis sawo dan pemasarannya.

Dari lima perkara itu Anda bisa menyusun buku minimal 50 halaman. Kalau

mau dilengkapi dengan foto-foto dan daftar pustaka, Anda bisa pertebal menjadi 70-an halaman. Lebih bagus lagi kalau bisa dilengkapi dengan teknik menanam sawo dalam pot, sejarah sawo, nutrisi sawo, dan data-data budidaya sawo di seluruh Indonesia.

Penerbit terkenal Penbar Swdaya di Jakarta, dengan mengerahkan tim penulis dapat memproduksi ratusan buku praktis macam itu. Ada buku tentang tomat, asparagus, kelinci, jambu, jeruk, jamur, atau apa saja yang melintas di kepala Anda. Dan buku-buku semacam itu laris. Mengapa? Karena selalu saja ada orang yang ingin beternak belut, dan berjualan mentimun. Percayakah Anda bahwa buku “Beternak Lele Dumbo” bisa laku 900 eksemplar per bulan, dan harus dicetak 10.000 buku setiap tahun?

Topik-topik di lapangan komputer, manajemen, keagamaan, juga banyak diminati orang. Dari sepuluh ribu buku terbita anggota IKAPI 1992, hampir seperlima adalah buku agama. Ini bukan hanya mencerminkan betapa religius bangsa Indonesia, tapi juga betapa asyiknya menulis masalah-masalah rohani. Khutbah Jumat, kuliah subuh, dan lain sebagainya yang memang selalu diperlukan oleh rakyat yang haus pegangan.

Kata orang yang rajin membaca, buku adalah pegangan. Atau obor, tongkat, kompas, atau teropong. Jadi jangan takut sukar menyusun outline. Kalau Anda tidak bisa bikin, pembaca yang akan mebuatkannya untuk Anda. Tugas Anda jadi lebih ringan: sekali lagi duduk, menulis apa saja. Apa saja. Adakalanya sesuai dengan minat, bakat, dan obesesi Anda. Kadang-kadang sama sekali tidak Adan minari. Misalnya: meningkatkan harga kodok dan kangkung, memasang kancing pada peragawan yang bawel, dan seterusnya.

Satu-satunya penghambat Anda dalam membuat outline adalah bagian pemasaran dan toko buku. Mereka suka ikut-ikutan menentukan, kira-kira buku apa yang bakal laris dan apa-apa yang bakal tidak dibeli orang. Kalau mereka sudah ngomong begitu, ada baiknya Anda membuat outline cadangan. Boleh selusin, boleh seratus versi tentang buku “Menanam Sawo di Pot dan di Kebun” dan “Beternak burung puyuh sambil memancing”.

Kosa kata

Yang menunjang keterampilan menyusun kalimat, adalah kekayaan kosa kata. Kosa kata ibarat saldo kekayaan seorang pengarang. Dengan kata-kata terbatas, Anda bisa membuat buku cerita anak-anak. Sedangkan dengan kosa kata lebih banyak, Anda bisa menyusun kamus. Lihat saja di toko buku, kamus bisa dicetak berulang-ulang. Padahal penyusunnya tidak pusing-pusing menyusun plot. Mencari topik, mengembangkan outline macam-macam.

Bukan itu. Tentu saja bukan hanya untuk menyusun kamus kita perlu banyak kosa kata. Chairil Anwar, Shakespearem Solzenitsyn, dianggap sangat berjasa karena membakukan dan memperkaya kosa kata pada bahasa masing-masing. Di masa mudanya, Rendra juga gemar menabung dan mengumpulkan kata-kata baru baru setiap hari. Masyarakat Indonesia modern juga sangat kreatif dan mampu menghidupkan kembali kata-kata yang sudah mati. Contoh: kata pakar dipakai lagi untuk menyebut “orang pintar”.

Padahal kata itu sudah lama mati. Begitu juga kata sangkil (efisien), mangkusrenjana (bersedih), citra (gambaran), yang banyak dipakai pada abad lalu tetapi berangsur-angsur dilupakan. Sekarang kata-kata itu populer lagi. Sementara penciptaan kata baru juga melaju. Penambahannya tidak terasa, seperti kata anda, santai, kasus dan seterusnya. (efektif),

Celakanya kita perlu mengenal pagar. Tidak semua kata boleh dipakai dalam kalangan pembaca yang fanatik pada “adat ketimuran”. Banyak kata boleh diucapkan, tapi tak boleh ditulis. Kalau kata-kata itu ditulis juga, pembaca bilang kita tidak sopan, jorok, kurangajar, bahkan tak tahu adat. Jadi hati-hati membelanjakan kosa kata Anda.

Kata-kata sebagus tahu kucing, babi, monyet, bahkan sapi pun kalau salah tarus bisa dicoret ibu guru. Apalagi bial sampai menyakiti orang, pasti kena sensor. Kebudayaan sensor adalah satu pagar bagi pengarang. Entah kapan penulis-penulis hebat sekaliber Anda bisa menyingkirkannya. Atau justru sebaliknya: dapatkah Anda menyebarkan santun berpikir ke seluruh penjuru dunia?[]

Catatan: Disadur dari buku “Menggebrak Dunia Mengarang”, karya Eka Budianta, hlm. 21-29.

Menulis Berita, Gimana Sih?

Oleh: O. Solihin


Anda mau jadi wartawan? Hmm... siap-siaplah melaporkan suatu peristiwa dalam sebuah tulisan. Nah, berita yang baik dan efektif adalah irit dalam gerak. Nggak bertele-tele. Juga tangkas dalam kejutan. Udah gitu, simple dan elok lagi. Itu sebabnya, kalo Anda baca tulisan-tulisan bernuansa berita enak banget dibacanya. Kita langsung nyambung dengan apa yang diinginkan si penulis berita. Cepat alurnya. Beda banget dengan tulisan fiksi yang, memang kelihatannya, harus memainkan kata-kata dengan bertabur kiasan dan pilihan kata yang membuat pembacanya larut dalam nuansa sastra.
Oke deh, saya kasih tip sedikit tentang menulis berita. Ini saya buat sesuai dengan teori yang selama ini saya ketahui dan praktik yang memang telah saya lakukan. Sudah mantap pengen jadi wartawan? Bagus! Tapi jangan salah, Anda harus punya ‘pegangan’ supaya tulisan beritamu oke punya. Paling nggak Anda mengetahui beberapa hal, di antaranya:

1. Informasi. Yup, informasi, bukan bahasa. Informasi adalah batu-bata penyusun berita yang yang efektif. Tanpa informasi, jangan harap Anda bisa menulis berita itu dengan baik. Jangankan nggak punya informasi, informasinya nggak lengkap saja bakalan kewalahan bikin beritanya. Pokoknya, ada yang ganjal saja, karena tulisan jadi kurang menggigit. “Prosa adalah arsitektur, bukan dekorasi interior,” kata Ernest Hemingway.
2. Siginifikansi. Maksudnya, berita harus memiliki informasi penting; yakni memberi dampak pada pembaca. Misalnya aja, penulisnya mengingatkan pembaca kepada sesuatu yang mengancam kehidupan mereka. Contohnya? Menulis tentang kesehatan seperti tentang kasus Flu Burung yang kian menggila belakangan ini, juga tentang kemakmuran dan kesadaran mereka akan nilai-nilai. Misalnya nilai ajaran agama.
3. Fokus. Kegagalan seorang penulis berita adalah ketika menyampaikan berita secara sporadis, alias semrawut. Nggak fokus. Berita yang sukses dan oke biasnya justru pendek, terbatasi secara tegas dan sangat fokus. “Less is more,” kata Hemingway. Tulisan yang ringkas nggak ubahnya sebuah lukisan yang tegas (tanpa garis yang tak perlu) atau mesin yang efektif (tanpa suku cadang yang nggak berfungsi). Luruskan apa saja yang berliku-liku. Gergaji deh apa yang terasa bergerigi. Berperanglah melawan kekaburan, sebab pernyataan yang abstrak adalah racun maut bagi seorang penulis.
4. Konteks. Tulisan yang efektif mampu meletakkan informasi pada perspektif yang tepat sehingga pembaca tahu dari mana kisah berawal dan ke mana mengalir, serta seberapa jauh dampaknya. Sobat muda muslim, tugas seorang penulis adalah membuat sesuatu informasi yang dikumpulkan dan dilaporkan menjadi jelas bagi pembaca.
5. Wajah. Di dunia jurnalistik berkembang ‘pameo’, seorang fotografer tahu bahwa gambar yang tidak menyertakan unsur kehidupan (manusia dan binatang) hanya akan berakhir di keranjang sampah. Nah, begitu pula dengan tulisan. Jurnalisme itu menyajikan gagasan dan peristiwa; tren sosial, penemuan ilmiah, opini hukum, perkembangan ekonomi, krisis internasional, tragedi kemanusiaan, dinamika agama, dsb. Tulisan yang disajikan itu berupaya mengenalkan pembaca kepada orang-orang yang menciptakan gagasan dan menggerakkan peristiwa. Atau menghadirkan orang-orang yang terpengaruh oleh gagasan dan peristiwa itu. Inilah yang saya maksud tulisan jusrnalistik itu harus ‘berwajah’.
6. Lokasi/Tempat. Sobat muda, pembaca menyukai banget “sense of place”. Anda bisa membuat tulisan jadi lebih hidup jika menyusupkan “sense of place”. Bener lho. Misalnya aja Anda tulisan seperti apa lokasi tempat terjadinya pembunuhan, bagaimana suasana di balik panggung pertunjukkan, bisa juga Anda gambarkan tentang suasana jalannya pertandingan sepakbola yang menegangkan saat kedua klub itu bermain hidup-mati untuk mengejar gelar juara atau menghindari jurang degdradasi. Seru deh. Misalnya aja terjadi sebuah kecelakaan mobil yang masuk jurang. Anda bisa menuliskannya dengan detil, seperti berapa kedalaman jurang, di sana ada air atau Cuma batu-batu besar eksplor terus biar terkesan dramatis. Kamera televisi itu bisa menampilkan pemandangan yang sesungguhnya, dalam warna dan detil. Nah, penulis tentu agak kesulitan untuk menggambrkan itu. Maka, ia harus bekerja keras untuk bisa melukiskan tempat itu di pikiran pembaca. Karena, adakalanya tempat kejadian itu nggak pernah diketahui sebelumnya oleh beberapa pembaca. Intinya, kita berupaya untuk menyentuh indera pembaca. Membuat mereka melihat cerita dalam detil visual yang kuat--dan juga dalam konteks yang tepat--membuat mereka mendengar, meraba, merasakan, membaui, dan mengalaminya. Anda pasti bisa membuatnya. Coba yaa..
7. Suara. Sobat, kita nggak boleh lupa, bahkan dalam abad komunikasi massa seperti sekarang, kegiatan membaca tetap saja bersifat pribadi; yakni seorang penulis bertutur kepada seorang pembaca. Tulisan akan mudah diingat jika mampu menciptakan ilusi bahwa seorang penulis tengah bertutur kepada seorang pembacanya. Jadi, gunakan kalimat aktif. Bila perlu berbau percakapan. Media massa cetak yang baik tak ubahnya seperti pendongeng yang memukau. Bukan pendongeng yang gagap. Nah, kata kerja adalah mesin pendorong sebauh cerita. Itu sebabnya, gunakan kata kerja aktif ketimbang yang pasif. Penulis berita ‘wajib’ merasa gagal saat menggunakan kata sifat, ketika tak bisa menemukan kata kerja yang benar atau kata benda yang benar. Ya, intinya, tulisan itu harus enjoy untuk dibaca.
Penulis yang baik juga mampu menghadirkan warna suara yang konsisten ke selruuh cerita, tapi menganekaragamkan volume dan ritme untuk memberi suara tekanan pada makna (dengan memberikan variasi pada panjang-pendek alinea, kalimat dan kata). Oke deh, gampangnya Anda bisa membaca berita di koran-koran or majalah-majalah. Rasakan sendiri bedanya. Oke?
8. Anekdot dan Kutipan. Anda perlu paham bahwa anekdot, sebuah kutipan, sebuah dialog pendek, atau sebuah deskripsi dapat mengubah irama di mana pembaca bisa terikat sepanjang cerita dan membuat tulisan itu lebih hidup. Untuk menggambarkan istilah ini, ibarat pertandingan sepakbola. Kalo ada playmaker yang handal dalam tim itu, ia pandai mengatur irama permainan, kapan menyerang, kapan bertahan, kapang juga menekan dengan umpan-umpan pendek dari kaki ke kaki, atau bisa juga menyusun serangan dari sayap. Pokoknya, membuat permainan enak ditonton.
Kutipan dalam tulisan berita memberikan otoritas. Siapa yang mengatakannya? Seberapa dekat keterlibatannya dengan suatu peristiwa dan masalah? Apakah kata-katanya patut didengar? Kutipan juga memberikan vitalitas karena membiarkan pembaca mendegar suara lain selain si penulis. Oya, Anda harus hati-hati untuk tidak terlalu banyak mengutip atau terlalu sedikit mengutip. Ya, yang sedang-sedang saja. Iya dong, kalo kebanyakan mengutip, kapan Anda nulisnya? Atau terlalu sedikit, malah banak pendapat Anda nati di situ. Padahal, berita itu kan harus objektif. Katanya sih begitu. Meski fakta yang berkembang saat ini tentang berita jadi suka bias. Bahkan kesannya udah ditempeli dengan opini si penulis berita. Istilah kerennya, berita sekarang adalah “realitas tangan kedua”, alias udah disaring sesuai dengan keingian si penulis atau visi media tersebut.

Oke deh, ini sekadar sekilas tip. Menulis berita juga adalah komoditi dari menulis itu sendiri. Silakan dipraktikkan[]

Minggu, 01 Juli 2007

Peluang Penulisan Nonfiksi

Oleh: O. Solihin

Menulis itu sangat menyenangkan. Baik tulisan nonfiksi maupun fiksi. Menurut saya, menulis jauh lebih menyenangkan ketimbang berbicara. Menulis lebih leluasa dalam mengembangkan ide dan memaparkan fakta. Bahkan menulis bisa sangat sistematis dalam memberikan runutan. Sementara berbicara seringkali dibatasi waktu dan dituntut untuk berpikir lebih cepat dan tepat. Dalam hal ini jarang sekali ada pembicara yang pandai mengemas kata, kaya dengan data, dan sekaligus menguasai audiens dengan baik.

Jika kita melihat fakta yang berkembang saat ini, sungguh sangat menggembirakan ketika banyak remaja muslim yang terjun menjadi penulis. Ini menunjukkan bahwa budaya menulis belum mati dan akan tetap hidup. Juga menumbuhkan kebanggaan bahwa dakwah Islam tetap berjalan, meski disampaikan lewat tulisan. Penulis kita makin tumbuh subur seiring dengan banyaknya klub atau kelompok pembinaan terhadap para calon penulis.

Kita bisa menyaksikan dan mungkin sangat kenal dengan nama-nama penulisnya. Baik mereka yang mengkhususkan diri menulis di jalur fiksi maupun yang betah dan fokus menulis nonfiksi. Sama bagusnya dan sama baik peluangnya, menurut saya. Masing-masing memiliki pembaca fanatiknya sendiri. Tentu karena selera tiap manusia berbeda. Meski secara umum dan secara sederhana bisa dipetakan menjadi dua bagian, yakni mereka yang menyukai tulisan nonfiksi dan mereka yang biasa menyantap tulisan fiksi.

Persoalannya, suatu saat mungkin kita harus berbicara peluang. Terutama ketika kita mulai berpikir untuk menerbitkan karya kita ke “mayor label”. Itu sama artinya dengan kita mengkalkulasi untung-rugi. Apalagi tiap penerbit buku memiliki aturan main sendiri dan punya studi kelayakan terhadap buku yang akan diterbitkan. Mereka harus menghitung biaya produksi dan juga tingkat pengembalian modal dengan cermat. Sehingga wajar jika kemudian berpikir bisnis. Karena memang dari situlah ia memutarkan dananya.

Menurut saya, jika dilihat dari sisi “dakwah”—dan itu mungkin lebih ke arah idealisme, peluangnya sama-sama bagus dan sama baiknya. Karena apa? Karena, sasaran dakwah kita beragam, baik dari segi intelektualitas, kultur, status sosial dan segala aspek kehidupan yang membentuk dan mengembangkan kepribadiannya. Sehingga di sini berlaku cara pandang. Maka, karya fiksi dan nonfiksi akan sama-sama mudah diserap pembaca tertentu. Jadi peluangnya sama.

Hanya saja, jika kita berbicara faktor bisnis, maka akan ada pertimbangan lain yang menurut saya wajar untuk dijadikan pijakan. Terutama oleh pengusaha penerbitan buku. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, akan berdampak kepada kita, para penulisnya. Ambil contoh sekarang ini sedang booming buku-buku fiksi. Hampir semua penerbit Islam atau umum membidik pangsa pasar ini. Ibarat trayek angkutan, maka tema fiksi lebih layak disebut sebagai jalur gemuk. Artinya, jika terbitkan oleh penerbit mana pun, pasarnya sudah ada. Sudah terbentuk. Sehingga seperti jualan gorengan. Akan mudah laris.

Tentu saja, ini berdampak kepada penulis fiksi. Sangat boleh jadi mereka yang bergelut di jalur ini akan terus mengasah kemampuannya, baik kualitas maupun kuantitas karya yang dihasilkannya. Untuk penulis pemula, secara tak langsung mereka pun akan meyakin-yakinkan diri untuk bermain di trek yang sama. Karena sedang diminati dan tentunya akan berdampak pada eksistensi diri dan kemampuan berkaryanya yang akan terus meningkat.

Sementara penulisan nonfiksi, jika dilihat dari sisi bisnis, kondisinya saat ini masih kalah bersaing dengan tema fiksi. Mungkin pasar yang menyukai tulisan nonfiksi jauh lebih sedikit dan mungkin spesifik sekali, sehingga jarang juga penerbit yang berani mengorbitkan karya tulis jenis tersebut. Tentunya kondisi ini ada hubungannya juga dengan para penulisnya. Bisa jadi karena penulis nonfiksi jumlahnya sedikit, maka itu berbanding lurus dengan jarangnya beredar karya nonfiksi di pasar. Sehingga mengukuhkan anggapan bahwa tulisan nonfiksi kurang menjanjikan secara bisnis. Jika hanya melihat fakta sepintas lalu, para penulis pemula yang ingin memoles keterampilan, akhirnya berpikir ulang untuk terjun di jalur nonfiksi. Karena mereka merasa peluangnya sangat kecil dan tentu karyanya akan sedikit diserap pasar. Ya, tak sebaik penyerapan pasar terhadap tulisan fiksi lah. Itu sebabnya, jika bukan karena idealisme yang sangat kuat atau ‘bakat’ dan minat utama yang tertanam dalam dirinya, maka ia akan memilih jalur yang “gemuk” tadi, yakni memoles kemampuan menulisnya di jalur fiksi. Wallahu’alam.

Tapi dari segi “peluang dakwah”, terjun di jalur fiksi tak salah dan tak masalah juga. Sah-sah saja. Selama memang menghasilkan karya yang benar, baik, dan bermanfaat buat umat. Itu sama artinya meski kita terjun di jalur tulisan nonfiksi, tapi isinya berantakan dan membuat umat tidak cerdas dan malah ingkar syariat, ya itu berbahaya dan bisa jadi sangat sia-sia. Intinya, jika boleh saya memberikan saran, silakan berkarya di dua jalur penulisan tersebut. Karena yang terpenting harus kita jadikan bahwa menulis adalah sebagai salah satu cara dalam berdakwah untuk kemaslahatan umat dan meninggikan kemuliaan Islam.

Jadi, bila kita ingin membandingkan peluang antara tema nonfiksi dan fiksi secara bisnis (dan ini pun boleh-boleh saja), harus dilihat lebih detil dan mungkin saja memerlukan penelitian yang menyeluruh. Supaya dakwah kita jalan, tapi pemasukan untuk “energi” dakwah juga lancar.

Tak ada salahnya dicoba

Jika kita ingin menjajal kemampuan untuk terjun di jalur penulisan nonfiksi, silakan saja. Tak ada salahnya mencoba. Apalagi sebagai “bocoran”, di beberapa penerbit Islam kini “diam-diam” ingin juga menggeber penerbitan tulisan-tulisan nonfiksi. Mungkin ada yang tergerak karena dilandasi semangat untuk mendakwahkan Islam dengan lebih detil, menyentuh, dan ilmiah. Dan itu diyakini hanya bisa ditempuh lewat jalur tulisan nonfiksi. Mungkin juga sekadar menjajal peluang bisnis semata. Terlepas dari kemungkinan seperti itu, insya Allah saya sendiri tetap khusnudzan bahwa penulis dan penerbit yang bekerjasama menerbitkan karya nonfiksi tetap dilandasi tujuan dakwah Islam yang mulia. Semoga.

Buat kita, penulis dan calon penulis, silakan fokus menulis di jalur masing-masing. Karena yang terpenting kita lakukan sesuai minat dan kemampuan yang kita sadari betul kelebihannya. Saya sendiri merasa harus fokus di tulisan nonfiksi, meski sesekali juga menulis fiksi.

Andai saya boleh ‘memaksa’ Anda dalam bentuk memberi saran, cobalah Anda menjajal untuk menulis nonfiksi. Kini, di beberapa penerbit kekurangan, jika tak ingin dikatakan tak ada penulis nonfiksi. Sementara berdasarkan studi kelayakan terhadap pasar (terutama remaja), sangat bagus prospeknya. Jadi peluang karya kita untuk diterbitkan insya Allah cukup besar. Asal tentunya karya kita dipoles dengan cantik dan indah. Coba ya. Yakin bisa deh!

Berhubungan dengan penerbit

Berikut ini beberapa tips atau cara yang berhubungan dengan penerbitan buku:

  1. Tema harus menarik dan aktual. Lengkapi dengan data faktual supaya lebih bergizi.
  2. Gunakan gaya bahasa bertutur yang asyik, menyegarkan, dan menghibur.
  3. Aktif menghubungi berbagai penerbit dan melakukan pendekatan.
  4. Rajin mengirimkan naskah ke satu penerbit yang kita anggap bagus.
  5. Menjalin kerjasama dengan penulis lain yang mungkin sudah ‘leading’ untuk membuat karya bersama atau sekadar meminta endorsement dan tulisan pengantar untuk karya kita.


Selamat mencoba dan terus menulis dan menghasilkan karya bermanfaat bagi umat dan kemuliaan Islam. Karena, ”Pada mulanya adalah kata. Tapi dia bisa menjadi senjata,” begitu kata Nadine Gordimerm, seorang penulis dari Afrika. Buat kita, kaum muslimin, menulis adalah bagian dari ibadah. Itu sebabnya tulisan tersebut harus dikemas dengan bagus agar pembaca kita mudah menyerap pesan yang kita sampaikan. Jadi, penulis muslim dituntut untuk menggabungkan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas. Tetap semangat![]

Pendapat para penulis tentang menulis

Saya suka menulis waktu saya merasa kesal; itu seperti bersin yang melegakan.” [D.H. Lawrence]


“Menulislah dengan bebas dan secepat mungkin, dan tuangkan semuanya ke atas kertas. Jangan melakukan koreksi atau menulis ulang sebelum semuanya habis Anda tuliskan.” [John Steinbeck]

“Kita tidak menulis untuk dipahami; tetapi untuk memahami.” [C. Day Lewis]

“Di mana pun saya menemukan tempat untuk duduk dan menulis, di situlah rumah saya.” [Mary TallMountain]

“Deskripsi (penggambaran) harus menyelusup ke dalam cerita bagaikan seekor ular merayap di rerumputan, diam-diam, hampir ak terlihat, tanpa menarik perhatian.” [Marion Dane Bauer]

“Kata yang tepat mungkin efektif, tetapi tidak ada kata yang sama efektifnya seperti jeda yang tepat waktu.” [Mark Twain]

“Kadang-kadang, kata yang paling sederhana adalah yang paling indah. Dan paling efektif.” [Robert Cormier]

“Jangan pernah ragu meniru penulis lain. Setiap seniman yang tengah mengasah keterampilannya membutuhkan model. Pada akhirnya, Anda akan menemukan gaya sendiri dan menanggalkan kulit penulis yang Anda tiru.” [William Zinsser]

“Yang menyebabkan kalimat pertama begitu sulit adalah karena Anda terpaku padanya. Semua yang lain akan mengalir dari kalimat itu.” [Joan Didion]

“Menulis kalimat pembuka suatu cerita hampir mirip dengan mulai berski di bagian bukit yang paling terjal. Anda harus mengendalikan semua keahlian sejak awal.” [Marion Dane Bauer]

“Walaupun banyak hal terlalu ganjil untuk dipercaya, tiada hal yang terlalu ganjil untuk terjadi.” [Thomas Hardy]

Saya pikir, hal terbaik menjadi seorang penulis adalah kita dapat mereka-reka segala sesuatu sekaligus mengatakan kebenaran pada saat yang sama.” [Kyoko Mori]

“Memiliki imajinasi saja tidaklah cukup. Anda harus dapat benar-benar masuk menembus ke dalamnya, merasai seluruh isinya.” [Stephen King]

“Gagasan seorang penulis adalah hal-hal yang menjadi kepeduliannya.” [John Gardner]

‘Dan karena saya tidak menemukan hal lain untuk ditulis, saya menyediakan diri sendiri sebagai subjek.” [Montaigne]

“Ruang menulis saya selalu penuh dengan skema garis besar dan bagan cerita (story-board) bab terbaru.” [Janet E. Grant]

“Sebuah karya akan memicu inspirasi. Teruslah berkarya. Jika Anda berhasil, teruslah berkarya. Jika Anda agal, teruslah berkarya. Jika Anda tertarik, teruslah berkarya. Jika Anda bosan, teruslah berkarya.” [Michael Crichton]

“Menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis…” [Gertrude Stein]

[Dari buku "Daripada Bete, Nulis aja", Caryn Mirriam-Goldberg, Kaifa, 2003]