Jumat, 10 Agustus 2007

Memilih Topik

bukusaft10.jpgPertanyaan yang kerap muncul dari benak kita saat hendak menulis, “Topik apa ya yang cocok?” Tolong, pertanyaan seperti itu jangan dijadikan beban. Anggap saja sebagai hal biasa. Apa yang enak dibahas dalam buku harian? Hmm… yang enak untuk dibahas adalah hal-hal umum yang berkesan dan menarik. Bisa menyedihkan, bisa pula yang menggembirakan. Seperti apa sih? Pengalaman pertama masuk sekolah, pengalaman berkenalan pertama kali dengan teman di sekolah, hari pertama masuk kerja, mendapat uang gaji pertama kali, bertemu sang kekasih hati, pengalaman saat melamar, pengalaman ketika menikah, dan lain sebagainya. Pokoknya, segala hal yang seru dan menarik. Semua itu bisa membuat kita betah menuliskannya berlembar-lembar. Asyik. Termasuk, yang enak dibicarakan adalah hal yang baru. Misalnya punya mobil baru, punya teman baru, punya rumah baru, dan segala hal yang baru-baru deh. Topik seperti itu ditanggung antimanyun. Pas banget untuk dituangkan di buku harian.

Kebiasaan untuk menuliskan sesuatu yang baru perlu dijaga. Bukan apa-apa, kalo kamu menulis buku harian, tapi masalah dan kata-kata serta kalimatnya sering diulang-ulang, nggak bakalan gereget lagi untuk dibaca. Bahkan sangat boleh jadi menulis buku harian nggak ada bedanya dengan mengerjakan PR menulis halus. Suer. Jadi gali terus, cari terus masalah baru. Supaya kamu kreatif. Siapa tahu nantinya memang kamu jadi wartawan. Wartawan kadang harus ‘nakal’. Misalnya, ketika mewawancarai narasumber, kudu berani menanyakan sesuatu yang barangkali ‘tabu’ untuk ditanyakan. Seperti jika narasumbernya sebagai polisi, kita tanyakan, ‘apakah ada keterlibatan aparat dalam aksi kejahatan ini?” Tujuannya, ada bahan berita baru yang bisa ditulis. Biar nggak monoton. Siapa tahu Pak Polisi itu keceplosan ngomong dan mengeluarkan pernyataan ‘of the record’. Bisa jadi kan? Meskipun nantinya nggak ditulis di media kita, tapi kita punya peluru baru untuk mengutak-atik arah kasus itu.

Buat kamu yang mau nyari topik, nggak usah sulit-sulit mikirin yang jauh-jauh. Coba cari yang dekat dengan kita deh. Tanya teman kanan-kiri, nguping dari sana-sini. Atau bisa juga baca koran pagi ini, cari berita yang menarik. Setelah dapat, kamu bisa menulis ulang dengan sudut pandang kamu. Misalnya, judul berita yang kamu ambil adalah perilaku seks bebas remaja. Setelah baca berita itu, dari mulai fakta dan arahnya ke mana, kamu bisa bikin ulang dengan pengembangan yang kamu suka, dengan cara kamu sendiri. Anggap saja misalnya dirimu sebagai wartawan yang menyelidiki kasus itu. Kamu bisa ubah dengan versi baru tentang penyelidikan kasus seks bebas di kalangan remaja. Sebagai latihan aja kan? Mungkin kok. Coba deh!

Sobat muda, satu hal yang menarik dari dunia ini adalah karena banyak hal yang tak terduga. Itu sebabnya kita asyik menjalani hidup ini. Memanfaatkan kesempatan, mengatasi kesulitan, mencoba keluar dari tekanan dsb. Itu pula yang kemudian membuat sebagian orang rela menjadi pengarang. Ia bisa meangandai-andai suatu peristiwa dan menuliskannya dalam berbagai versi. Karena memang banyak kemungkinan yang bisa ditulis. Hal itu akan menjadi peluru yang banyak untuk menjadi seorang pengarang.

Tinggal sekarang, bagaimana cara menyajikan berbagai kemungkinan itu dalam surat yang akan kita kirim, dalam buku harian yang akan kita buat, dalam artikel yang akan kita tulis, dalam novel yang akan kita bikin, dalam cerpen yang akan kita rangkai jalinan kisahnya. Maka jangan kaget, dengan banyaknya kemungkinan orang suka membaca surat. Sebab, surat yang pasti-pasti itu nggak semangat lagi kita bacanya. Misalnya surat dinas berupa surat perintah kerja, kenaikan gaji, apalagi surat PHK. Novel dan cerpen yang masih ‘misteri’ akan semangat untuk dibaca. Artikel yang ‘menyimpan’ rasa penasaran akan selalu menarik perhatian. Yakin deh.

Untuk menulis artikel, cari saja topik yang ‘menggigit’. Itu terserah kamu sih. Misalnya kamu bikin tulisan dengan topik cinta. Kamu cari segala masalah yang berhubungan dengan cinta dan cepetan tulis aja. Resepnya, cari topik-topik yang mudah aja dan dekat dengan keseharian kita. Kalo mau ‘jauh-jauh’ juga boleh, nanti kamu bisa memikirkannya jika teori dasar mencari dan memilih topik udah kamu kuasai.

Jadi topik untuk surat, buku harian, artikel, novel, cerpen, puisi bukan soal sulit. Apa saja bisa jadi topik yang menarik. Ada yang bilang bahwa kalo sejak masa kanak-kanak kita bisa membuat apa saja jadi mainan, maka setelah dewasa, katanya akan bisa membuat segalanya jadi karangan. Mobil, gunung, batu, sungai, laut, hewan, manusia, rumah, sekolah, kantor, pohon, anak kecil, kakek-nenek, rambut, kaki, tangan, alis, mata, hidung, pokoknya semua hal bisa menjadi topik yang menarik. Suer. Yang penting, kamu mau menuliskannya. Jangan sampe kamu ngomong, “isinya sudah tahu, judulnya sudah siap, bahan-bahannya sudah lengkap, arah tulisannya sudah dibuat, sekarang tinggal nulis aja.” Wah, itu justru bermasalah. Padahal, cepet aja langsung tulis.

Pengalaman saya, jika sudah mendapatkan topik yang menarik, segera langsung mencari data tentang segala hal yang berkaitan dengan topik tersebut. Setelah dapat, saya biasanya nggak melama-lamakan, takut mood-nya untuk menulis hilang. Langsung saja saya tulis. Sebisa mungkin, sebaik mungkin. Sebab, percuma aja kalo semua bahan udah dikumpulkan, tapi kamu masih diam aja. Sekarang, yang dibutuhkan adalah konsentrasimu untuk segera menulis. Jadi, tunggu apalagi, segera tulis. Selamat mencoba! [O. Solihin]

Jadi Peneliti Kecil-kecilan

google2ph6.jpgUntuk memulai menjadi penulis, bisa dicoba juga untuk mencintai kebiasaan meneliti. Jangan dibayangkan bahwa meneliti itu urusannya selalu berat. Nggak juga. Bahkan sebetulnya setiap hari bisa kita lakukan. Ketika menyimak berita di televisi, kamu bisa mengembangkannya. Misalnya ada berita tentang unjuk rasa mahasiswa di berbagai daerah menuntut penurunan harga-harga bahan pokok. Saat itu juga kamu langsung bertanya-tanya; mengapa mahasiswa menolak kenaikan harga-harga, apa untungnya bagi mereka, mengapa itu bisa terjadi, terus solusinya apa. Entah berapa pertanyaan lagi yang bisa muncul.

Biasanya, pertanyaan seperti itu hanya bisa muncul ketika kita memiliki rasa ingin tahu yang banyak sekali. Waktu kecil, biasanya anak-anak selalu bertanya. Kadang-kadang, menjawab pertanyaan mereka tak selalu mudah, lho. Ketika ia di bawa ke kebun binatang, semua nama jenis binatang ditanya kepada orangtuanya. Bahkan ada pertanyaan yang menggelitik, ‘kenapa beruangnya nggak bisa bicara?’ Maklum, ia membandingkan dengan film kartun Winnie the pooh yang pernah ditontonnya. Nah, rasa ingin tahu seperti itu perlu dipelihara. Jadi jangan sampe kita ‘mati’ dalam keadaan hidup, karena nggak peduli dengan kondisi yang ada. Seolah-olah kita bisa hidup tanpa informasi. Pada lingkungan seperti itu, kata Bang Eka Budianta, buku paling bagus sekalipun nggak akan ada gunanya. Nah lho.

Hobi meneliti, atau mungkin disederhanakan dengan istilah punya rasa penasaran, memang bisa dicoba sejak kecil. Menghitung jumlah pohon yang kita lalui dari rumah ke sekolah, menghitung jumlah perempatan jalan dalam perjalanan yang setiap hari kita lalui antara rumah dan tempat kerja, mengingat warna-warna cat dari pagar rumah teman kita, mengamati kebiasaan sehari-hari teman kita, termasuk makanan kesukaannya, warna favoritnya, hal yang tidak disukainya, bahkan bila perlu mencoba mengetahui jumlah pakaian yang dimilikinya tanpa harus membuka lemari pakaiannya; hanya dengan mengingat warnanya, dicatat dalam hati, dan dihitung diam-diam. Kalo dalam jangka waktu tertentu kamu sampe bisa dengan tepat mengetahui itu semua, kamu berpeluang besar jadi peneleti ulung, juga penulis hebat. Pelihara kebiasaanmu.

Sebab, menulis memang tidak saja mengasah keterampilan menggunakan kata-kata, tapi juga harus lihai dalam akurasi data. Supaya bobot tulisan kita jadi bermutu. Itu sebabnya, untuk menjadi penulis bagi mereka yang masih pemula, bisa dicoba resep ini. Mudah kok. Tentu asal kamu mau dan rajin mencobanya.

Bang Eka Budianta dalam bukunya Menggebrak Dunia Mengarang, menuliskan bahwa minat meneliti menentukan kedalaman dan luasnya jangkauan karangan kita. Ia memberi contoh, sebelum menulis Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa, Y.B. Mangunwijaya mendalami masyarakat Maluku dan pola hidup maritim di sana. Begitu juga novel Para Priyayi Umar Kayam, yang ditulis dengan mengadakan berbagai penelitian dan dukungan perguruan tinggi di Amerika Serikat. Saya pernah membaca dalam sebuah buku, bahwa Ernest Hemingway rela mengarungi lautan, berminggu-minggu hanya untuk mengetahui secara jelas kehidupan di tengah laut sebelum menulis sebuah novel berjudul The Old Man on The Sea.

Saya sendiri merasakan pentingnya meneliti, ketika sekolah di SMAKBo (Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor). Di situ saya dan juga teman-teman harus selalu merasa tertantang untuk menemukan jawaban dari setiap bahan yang diujicobakan di laboratorium. Entah di lab. Mikrobiologi, lab. Kimia Industri, lab. Kimia Fisika, lab. Kimia Analisis (gravimetri dan titrimetri). Menganalisis bahan secara kualitatif dan kuantitatif memang membutuhkan ketelitian dan kejelian. Bahkan logika pun turut membantu memecahkan masalah tersebut. Berbagai faktor bisa mempengaruhi hasil; dari bahan baku, cara kita kerja, sampe alat yang digunakan. Nah, kondisi seperti itulah yang membuat saya merasa tertantang untuk mencari jawabannya. Mungkin karena terbiasa seperti itu, ‘irama’ dan ‘rasa’ tersebut secara tidak langsung ikut membantu saya dalam menulis. Menulis apapun.

Wah, tertarik jadi penulis? Untuk sementara resep meneliti ini bisa segera dicoba. Atau kamu bisa lakukan resep sebelumnya di tulisan saya ini. Coba secara intensif, dan terus kembangkan. Jangan pernah merasa bosan. Gagal itu biasa, tapi terus berusaha, itu yang luar biasa. Sampai jumpa di tulisan berikutnya. [O. Solihin]

Menulis Surat? Boleh Juga Tuh!

suratijin.jpgMenulis surat bukan perkara yang susah, tapi juga nggak begitu mudah. Bergantung kepada kebiasaan kita. Celakanya, memulai kebiasaan baru dan mengubah kebiasaan lama nggak gampang. Kadang malah sulitnya minta ampun. Saat kita terbiasa nyantai, ketika diminta untuk giat, juga perlu adaptasi. Nggak mudah. Begitu juga sebaliknya. Tapi, yakinlah bahwa kita bisa memulai kebiasaan baru. Tentu yang baik dong. Coba ya… Dengan menulis surat, kita belajar untuk mengungkapkan perasaan kita secara penuh lewat tulisan. Kita bisa menggunakan pilihan kata yang pas untuk pembaca. Pembaca itu bisa teman dekat, ayah, ibu, kakek, nenek, adik, kakak, atau malah orang yang asing sekalipun, alias yang belum pernah kita kenal. Surat, adalah cara yang cukup efektif untuk berkomunikasi. Lihai atau tidaknya kita berkomunikasi dengan orang lain, bisa dilihat dari apa yang disampaikan dalam surat itu. Bahasa, pilihan kata, dan bagaimana cara merangkai kata-kata itu menjadi tulisan.

Tapi, bagaimana cara menulis surat ya? Langsung saja. Nggak usah bingung-bingung. Apa yang ada dalam benak kamu segera tuliskan di kertas putih itu, atau buruan tekan tuts-tuts keyboard komputermu. Nggak ada yang sulit kok. Tapi gimana kalo jelek? Lha, kan namanya juga belajar. Salah-salah dikit, atau mungkin banyak nggak masalah. Bahkan kalo yang belajar langsung bisa, nanti nggak nikmat deh. Nggak seru. Nggak bisa cerita ke teman, gimana suka-dukanya bikin surat. Seperti dalam ungkapan sebuah iklan, “Nggak ada noda, ya nggak belajar”. Jadi, kegagalan adalah awal dari kehancuran, eh, kegagalan adalah awal dari sebuah keberhasilan. He..he..he..

Menulis surat itu mengasyikan lho. Bener. Pengalaman saya waktu kecil seru juga kalo bikin surat. Nggak panjang-panjang. Cukup beberapa kalimat saja. Singkat banget. Waktu itu yang penting bisa menyampaikan pesan. Surat buat teman memang yang paling banyak waktu itu. Nah, pas udah jauh dari orangtua, karena harus melanjutkan sekolah di kota lain, surat yang paling sering saya tulis adalah untuk ortu dan adik, juga untuk teman dekat. Bisa ditebak surat untuk ortu, isi suratnya berkaitan dengan kondisi keuangan. Biasanya kalo udah menipis, pasti deh isi suratnya adalah minta dikirim wesel. Pernah juga minta ortu supaya datang ke kota tempat saya belajar, kalo saya kangen. Asyik lho. Dan, tentunya orang ngerti dengan apa yang kita maksud. Biar klop. Apalagi sekarang, jamannya lewat surat elektronik (e-mail), kiat bisa nulis surat ke banyak orang via mailing list. Mudah dan murah lagi.

Surat yang kita tulis, siapa tahu bisa membantu menyemangati teman kita yang baru patah hati. Siapa tahu juga surat kita bisa menyelamatkan ortu kita dari perceraian. Malah mungkin surat untuk calon pasangan hidup kita. Bener. Kalo kita mau khitbah tapi nggak kuasa diungkapkan langsung dengan kata-kata, atau malu kalo harus nitip lewat teman untuk menyampaikan perasaan hati kita kepada orang yang kita sukai, surat bisa menjadi pilihan paling aman. Saya pernah kok melakukan itu. Saya mengirim surat kepada orang yang sekarang menjadi istri saya. Seru juga lho.

Bang Eka Budianta dalam bukunya Menggebrak Dunia Mengarang, memberikan contoh orang-orang besar yang juga hobi menulis surat. H.B. Jassin misalnya, ia menulis ribuan surat untuk pengarang-pengarang Indonesia. Dengan surat ia membesarkan hati dan memberi semangat kepada penulis di negeri ini. Kumpulan suratnya bisa kamu beli di toko-toko buku terkemuka. H.B. Jassin adalah seorang di antara penulis surat terbaik selain Iwan Simatupang dengan surat-surat politiknya, dan Leila Budiman dengan surat-surat psikologisnya. Ia mengasuh ruang konsultasi pribadi di harian KOMPAS setiap hari minggu.

Surat-surat Roosevelt kepada istrinya, Nehru kepada putrinya, Indira, termasuk kumpulan surat terlaris di dunia. Atau surat-surat Mariam Jamilah kepada al-Maududi itu juga merupakan surat yang mampu memberikan nuansa tersendiri kepada pembaca lainnya. Mengapa mereka bisa? Karena mereka mencintai bahasa. Jadi, mulailah menulis surat. Oya, sekarang malah ada fasilitas blog. Manfaatkan aja. Gampang kok. Cobalah! [O. Solihin]

Bikin deh Buku Harian

661-overland-diary.jpgSetelah banyak membaca, setelah banyak tahu segala hal, biasanya muncul rasa ingin menumpahkan seluruhnya lewat tulisan. “Bagaimana caranya? Saya kan belum menguasai teknis menulis?” Mungkin itu pertanyaan umum bagi teman-teman yang mau menulis tapi bingung gimana caranya. Pak Kuntowijoyo pernah ngasih bocoran, bahwa kalo pengen jadi penulis, mulailah menulis, menulis, dan menulis. Itu artinya, ya tuliskan saja apa yang kamu mau. Tuangkan saja apa yang ada dalam benakmu. Jangan perhatikan dulu EYD dan segala macam aturan menulis. Bukankah ketika kita kecil langsung bisa bicara, padahal tidak mengetahui aturan yang baik. Bagaimana cara bicara yang baik dan sopan. Itu membuktikan jangan melihat dulu aturan yang ada dalam tataaturan teknik penulisan. Jadi, tulislah sesukamu. Tapi harap diingat, jangan asal jor-joran aja nulis. Kalo kamu udah bisa, EYD tentu diperhatikan dong. Utamanya dalam penulisan huruf kapital dan tanda baca.

Mungkin bisa dicoba dengan bikin buku harian. Di buku itu, kamu bisa menulis apapun tentang perasaan hatimu. Tumpahkan seluruhnya. Entah sedih, kecewa, senang, gembira, juga tentang cinta. Satu kalimat atau dua kalimat saja sehari. Nggak perlu banyak-banyak. Dalam setahun, jadi banyak juga kan?

Banyak gadis jadi kesohor karena buku-buku harian mereka. Misalnya Kartini dari Jepara, dan Anne Frank di Amsterdam. Buku harian kedua gadis itu membuka mata dunia, bahwa hidup terlalu berharga untuk lewat dalam pikiran. Buku harian, sanggup merekam secara jujur perasaan penulisnya. Dengan menulis buku harian, kita bisa melatih kepekaan dalam menggunakan pilihan kata yang bisa kita tuliskan.

Coba deh, untuk menjadi penulis, mungkin resep ini bisa dicoba bagi para pemula.diary-full.jpg Nggak susah kok. Cukup beli buku harian yang kecil saja. Lalu, tiap hari kamu rajin mengisinya. Terutama hal yang sangat berkesan dalam hidup kamu di hari itu. Tuliskan saja apa adanya. Jangan perhatikan dulu EYD. Suatu saat nanti, jika kita sudah terbiasa menulis, akan kita dapatkan sendiri gimana cara menulis yang baik dan benar.

Waktu SMP dulu, saya juga punya buku harian. Memang malu kalo dibaca orang. Karena kadang-kadang saya menulis tentang pengalaman saya. Yang baik, maupun yang buruk. Waktu itu, saya memang nggak setiap hari menulis di buku harian. Kadang-kadang saja. Utamanya kejadian yang amat berkesan. Tapi, suatu saat ketika membuka-buka kembali buku tersebut kenangan bisa kita rangkai lagi. Bahkan bukan mustahil untuk menuliskannya dalam sebuah cerpen yang lebih baik dari yang ditulis di buku harian. Benar. Bermanfaat sekali, lho.

Jadi, jangan malu-malu untuk punya buku harian. Memang anak puteri yang rajin menumpakan perasaannya di buku harian, tapi anak putera juga ada lho. Mungkin salah satunya saya (he..he..he.. nggak nyombong lho..). Tapi parahnya, sejak bisa nulis, saya jadi jarang nulis buku harian lain. Sekarang malah nggak punya. Pengen juga sih aktif lagi menulis di buku harian, siapa tahu 1 atau 2 tahun ke depan bisa bikin cerita. Bagus juga ya?

Soalnya, kata Bang Eka Budianta, seorang penulis terkenal itu, menyebutkan bahwa menulis buku harian, bukan berarti bunuh diri. Justru dengan menulis, kita membangun kepribadian, mengasah keterampilan menulis dan melatih kepekaan kepada kata-kata. Yuk kita coba. [O. Solihin]

Berawal dari Membaca

spk1b.gifPenulis yang baik, adalah pembaca yang baik. Kamu punya hobi membaca? Berbahagialah. Karena syarat menjadi penulis salah satunya adalah banyak membaca. Dengan membaca, kita jadi tahu segalanya. Hal yang sebelumnya menjadi misteri, setelah membaca, kita jadi ngeh. Membaca akan membuka wawasan kita tentang segala hal. Menyenangkan sekali memang. Waktu SD saja, senang betul bisa membaca buku-buku pelajaran, buku cerita, komik, bahkan ‘nekat’ membaca koran. Dengan semakin banyak membaca, semakin besar rasa ingin tahu kita. Nggak mengherankan jika kemudian kita selalu ketagihan untuk membaca. Jadi, silakan baca buku apa saja, selama kamu sanggup untuk membacanya. Selama matamu masih melek (kalo tidur kan nggak bisa baca…he..he..he..)

Di Amerika, menurut Pak Ade Armando saat mengisi acara Lunching MRI Permata tahun 2002 lalu, ia menyebutkan bahwa hampir sejuta judul buku terbit tiap tahunnya. Itu menunjukkan bahwa minat baca di sana sangat besar. Di Jepang juga sama, seorang teman pernah memberi kabar, bahwa koran terbesar di sana, setiap hari bisa terbit dengan jumlah oplah 4 kali lebih besar dari jumlah penduduk Jepang itu sendiri. Apakah mereka mengkoleksi koran tersebut? Nggak tahu pasti. Tapi keberanian penerbit untuk mencetak sebesar itu, adalah sebuah prestasi sekaligus menaruh kepercayaan kepada masyarakat. Bahwa, masyarakat di sana memang ‘gila’ baca.

mari-membaca.jpgBanyak orang besar rata-rata hobi membaca dan mengakui manfaat membaca bagi kemajuan karirnya. Sebut saja Theodore Roosevelt, ia bahkan sanggup membaca tiga buku dalam sehari selama di Gedung Putih. John F. Kennedy juga sama, bahkan ia disebutkan sanggup membaca 1000 kpm (kata per menit). Bisa dibayangkan, berarti dalam satu jam bisa membaca 60 ribu kata.

Dengan membaca, kita juga jadi tercerahkan. Apalagi sekarang sudah maju banget teknologi mesin cetak, hingga informasi bisa didapatkan dengan mudah sampe ke pelosok desa. Teknologi informasi yang juga ikut membidani lahirnya internet semakin membantu masyarakat mendapatkan informasi yang banyak. Inilah yang disebut sebagai ledakan informasi. Hasilnya, ambil contoh di desa, para petani yang rajin mendapatkan informasi, salah satunya dengan membaca, lebih maju dalam menggarap sawahnya. Ia tak lagi menarik bajak dengan menggunakan sapi atau kerbau. Sapi dan kerbau amat lamban. Ia beralih ke mesin traktor. Membaca, memang bermanfaat banget.

Banyak penulis besar, juga pasti berawal dari kebiasaannya membaca. JK Rowling, penulis novel terkenal, Harry Potter, nggak mungkin bisa mengekspresikan seluruh isi tulisannya jika tidak membaca sebelumnya, sehingga ia menjadi tahu kapan menumpahkan rasa marah dalam sebuah tulisannya, kapan menuliskan kekaguman, dan bagaimana caranya bisa menggiring pembacanya supaya bisa memahami tulisannya. Yakin itu. Ernest Hemingway bisa ngetop dengan novel-novelnya juga karena getol membaca. Mantan Presiden Sukarno, juga terkenal rajin membaca. Itu sebabnya, beliau bisa menuangkannya kembali dalam beberapa buku yang berhasil ditulisnya.

Kalo kamu nggak cukup buku untuk dibaca, silakan kunjungi perpustakaan. Atau paling banter datang ke toko buku. Meski kamu nggak beli satu buku pun, kamu bisa membaca buku baru yang dipajang tanpa segel. Silakan dibaca, siapa tahu ada informasi menarik yang bisa kamu dapatkan. Menyenangkan sekali bukan? Saya punya pengalaman menarik tapi sedikit memalukan. He..he..he.. nggak ding, bukan memalukan, tapi nekatz. Begini ceritanya, saya jalan-jalan ke toko buku. Ini memang sering juga saya lakukan untuk mencari informasi terbaru. Kalo ada uang di kantong, dan buku menarik itu bandrolnya nggak bikin kantong bolong, saya bisa beli langsung. Tapi waktu itu benar-benar kepepet.

Setelah mikir-mikir, sayang juga kalo kesempatan membaca buku itu hilang begitu saja. Akhirnya, dipicu oleh saking pengennya dapat informasi dari buku menarik itu, dan kebetulan buku yang dipajang itu tanpa segel, saya baca agak lama (tapi nggak sampe lecek sih). Nah, begitu ada data menarik, dan saya harus mendapatkannya, saya sempat bingung. Tapi kemudian dapat ‘ide nakal’. Saya ambil pulpen dan blocknote yang selalu nempel di saku baju saja. Setelah celingukan sebentar, saya langsung menyalin beberapa bagian penting dari buku menarik tersebut. Untung, sampe selesai nyalin penajaga tokonya nggak nyamperin saya. Ya, seandainya punya banya uang, atau semua buku itu murah harganya, kayaknya menarik juga untuk dikoleksi. Nggak sempat baca sekarang, kan masih bisa esok hari. Pokoknya banyak baca deh.

Terus terang saja, saya sendiri bisa menulis buku, setelah banyak membaca. Saya bahkan tidak bisa menuliskan satu kalimat pun saat belum ada informasi tentang apa yang akan saya tulis. Membaca adalah kemungkinan paling besar untuk mendapatkan informasi (selain mendengar tentunya). Membaca memang akan memperkaya wawasan. Manfaatnya besar banget lho. Jadi jika ingin jadi penulis, mulailah dengan membaca. Sebanyak mungkin, bacaan apapun (fiksi dan nofiksi). Selamat mencoba. [O. Solihin]