Jumat, 29 Juni 2007

Bangkitkan Kehebatanmu (2)

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Ada lagi yang perlu kita perhatikan agar bisa menjadi penulis pilihan. Selengkapnya, inilah hal-hal penting yang perlu kamu miliki: I Am Not a Me Too

Kalau kamu ingin jadi penulis yang diperhitungkan (tidak hanya untuk sementara), ikrarkanlah dengan mantap, "I am not a me too. Saya bukan orang yang me too, yang suka ikut-ikutan." Meski awalnya karyamu tak banyak dibaca orang, kelak kamu akan tahu bahwa karyamu termasuk a

few good ones. Karya-karya pilihan. Yakinlah, setiap manusia memiliki keunikan. Karena itu, kamu justru akan memiliki ciri khas yang mengesankan tanpa sibuk-sibuk mencari gaya yang memikat bila kamu cukup percaya diri untuk menjadi diri sendiri. So, be yourself.

Jadilah dirimu sendiri. Kalau karya Mbak Helvy bagus, tulisan Boim jenial, dan gaya Emha nakal sekaligus bengal, biarkan saja mereka berjalan seperti itu. Tetaplah kamu menjadi dirimu sendiri.

Jangan Biarkan Editor Mengubah Tulisanmu

Seorang teman pernah menulis buku. Cukup tebal. Atas dasar isinya yang bagus, editor memutuskan untuk menerima. Selanjutnya editor menyerahkan kembali tulisan tersebut untuk diperbaiki penulisnya. Apa yang terjadi kemudian? Teman saya ini nyaris tak melakukan perubahan apa-apa. Sebaliknya, dia bersiap-siap menulis buku berikutnya. Alasan dia, "Kan ada editor. Nanti biar diperbaiki editor. Kalau naskahnya sudah bagus, editornya malah nggak punya kerjaan."

Saya begitu kagum pada teman saya ini. Dia begitu khawatir editor kehabisan pekerjaan sampai-sampai tulisannya tidak diurus oleh editor. Bukunya tidak jadi terbit karena editor tidak betah menggarap tulisannya. Editor selalu lebih tertarik mengemas tulisan lain yang lebih mudah dicerna.

Teman saya hanyalah satu dari sekian banyak penulis yang memiliki sikap mental menyedihkan. Sikap mental seperti ini membuat kita tidak bisa berkembang. Sebaik-baik racikan seorang editor, tetap akan lebih baik racikan asli penulis. Mengedit sangat berbeda dengan menulis.

Seorang penulis yang hebat pun bisa ngos-ngosan kalau harus memperbaiki tulisan yang amburadul. Energi yang dipakai untuk mengemas ulang tulisan yang membingungkan, jauh lebih banyak dibandingkan membuat satu buku yang menakjubkan. Itu sebabnya, di awal-awal perjalanan saya menulis, saya memancang satu tekad, "Saya harus menulis dengan sempurna, sehingga editor tidak perlu mengubah sedikit pun."

Tekad ini memacu saya untuk selalu memperbaiki kualitas tulisan. Buat saya tidak ada kata berhenti untuk belajar, tak terkecuali belajar menulis agar lebih baik lagi. Keberhasilan menulis buku-buku best seller, tidak berarti saya telah mencapai kesempurnaan. Buktinya, masih saja ada yang harus diubah oleh editor, misalnya karena menulis kata "yang" dua kali. Meski ada yang mengatakan kesalahan itu tidak begitu berarti, tetapi itu menunjukkan bahwa saya masih harus belajar agar editor tak perlu lagi menambahi atau mengurangi apapun dalam tulisan saya.

Kita Nggak Butuh Mood

Salah satu berhala yang banyak dipuja oleh penulis-apalagi penulis fiksi-adalah mood. Mereka bisa menulis dengan baik kalau sedang mood. Sebaliknya mereka akan berhenti menulis kalau lagi nggak ada mood. Lama-lama mereka dikuasai mood. Mereka menulis atau tidak, tergantung kepada mood atawa suasana hati.

Saya tidak tahu sejak kapan penulis sangat tergantung kepada mood. Begitu tergantungnya sampai-sampai mereka percaya mood sangat menentukan lancar tidaknya menulis. Padahal kitalah yang seharusnya menentukan diri kita sendiri. Kalau kita membiasakan diri untuk menulis kapan saja; dalam suasana gaduh atau tenang, dalam suasana penuh semangat atau dingin tak bergairah, kita akan lebih produktif sekaligus melahirkan tulisan yang lebih berbobot. Satu hal yang harus kita pompakan: menulis karena memang ada yang harus kita sampaikan.

Kalau mood sedang tidak bersahabat dengan kita, jangan dikasih hati. Tetaplah menulis. Insya-Allah, kita akan terbiasa sehingga dapat menulis dengan bagus anytime anywhere `kapan saja, dimana saja'.

Ssst…! Jangan Cepat Ge-eR

Satu lagi, jangan cepat Ge-eR alias gedhe rasa. Kalau tulisan kita nggak dimuat, jangan cepat-cepat berkesimpulan bahwa tulisan kita mutunya menyedihkan. Boleh jadi editor lagi sumpeg berat saat baca tulisan kita, sehingga secepat kilat membuangnya di keranjang sampah.

Boleh jadi tulisan kita terlalu pendek, sehingga tanggung kalau dimuat. Atau sebaliknya, tulisan kita terlalu panjang. Atau ketikan kita amburadul penuh coretan sehingga editor ogah memperhatikan. Itu sebabnya, kita perlu perhitungkan saat mengirim tulisan.

Begitupun kalau tulisan kita dimuat atau buku kita laris, jangan cepat Ge-eR. Cobalah untuk memahami lebih jauh kenapa buku kita laris? Karena tulisan kita memang bagus, ada pasar fanatik, atau karena kita diuntungkan oleh situasi. Melalui usaha untuk terus memahami, insya-Allah kita akan mampu melahirkan tulisan yang benar- benar memiliki kehandalan yang obyektif.

Nah, bagaimana? Sudah siap menulis? OK. Tajamkan pena dan ubahlah dunia dengan tulisanmu![]

Bangkitkan Kehebatanmu (1/2)

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Penulis buku-buku best seller, antara lain Kupinang Engkau dengan Hamdalah, Kado Pernikahan untuk Istriku, Indahnya Pernikahan Dini dan Agar Cinta Bersemi Indah

Banyak penulis berbakat, tetapi tidak mampu membuat tulisan yang hebat. Mereka pernah menjadi juara di berbagai sayembara mengarang; mereka memperoleh penghargaan di berbagai perlombaan; mereka menumpuk piala-piala di ruang tamunya, tetapi tak satu pun karya berharga yang mampu mereka tulis. Selebihnya, piala-piala itu hanya menjadi kisah membanggakan untuk penghias cerita saat datang kenalan.

Apa yang menyebabkan mereka gagal menjadi penulis handal? Mental. Karena tidak memiliki mental pemenang, mereka gagal menjadi penulis cemerlang. Apa saja yang perlu kita miliki agar dapat melahirkan tulisan yang selalu dicari-cari? Inilah beberapa hal yang perlu kita perhatikan untuk melejitkan kehebatan kita sebagai penulis:

Jadi yang Terbaik, Bukan yang Lebih Baik

Ada dua penyakit yang sering membuat kita tak pernah melejit, yakni banyak mengeluh atau sebaliknya terlalu cepat merasa puas. Banyak mengeluh membuat kita tidak pernah puas, dan akhirnya menjadikan kita tak pernah memiliki rasa percaya diri bahwa tulisan kita cukup berharga. Kita selalu merasa lebih jelek, sehingga tidak pernah berani mempublikasikan. Sebaliknya, terlalu cepat merasa puas membuat kita tidak berkembang. Kita merasa cukup sebelum melakukannya secara optimal. Kita merasa qana'ah, padahal sebenarnya merupakan sikap

seenaknya.

Penyakit terakhir ini sering saya temui pada banyak penulis. Mereka lebih hebat dari saya, tetapi mereka tidak mampu melahirkan karya dahsyat. Sebabnya sederhana, mereka menganggap tulisannya lebih baik dari orang lain. "Ah, saya kira sudah cukup. Banyak yang lebih sederhana dari ini, juga bisa terbit." Alhasil, karya mereka pun hanya menjadi karya "yang sedang-sedang saja", meskipun awalnya memang lebih baik dari orang lain.

Nah, jika kita ingin melahirkan karya yang memikat, ada satu sikap mental yang perlu kita miliki. Saya sering menggambarkannya dalam ungkapan if the best is excellent, good is not enough. Sederhananya, jika mampu melakukan yang terbaik, tidak layak melakukan yang sekedar baik. Meskipun "yang sekedar baik" itu sudah jauh lebih baik daripada seluruh tulisan yang ada, tak layak kita menuliskannya jika kita memang mampu melahirkan tulisan yang lebih baik lagi.

Alhasil, camkanlah untuk selalu menulis dengan sebaik-baiknya. Ini tidak berarti kita berhenti menulis bila kita sedang sakit karena khawatir tulisan kita tak sebaik kemarin. Tetapi, kita harus menulis dengan sebaik-baiknya sesuai keadaan kita saat itu. Kita melakukan yang terbaik jika kita meraih nilai tujuh karena memang kemampuan maksimal saat ini adalah tujuh, meskipun kemarin kita mampu meraih nilai sembilan. Sebaliknya, nilai delapan saat ini bisa merupakan prestasi yang menyedihkan kalau sebenarnya kita mampu meraih nilai sepuluh.

Termasuk mental untuk menjadi yang terbaik adalah berusaha melahirkan tulisan terbai untuk media yang terbaik pula. Kalau kemudian kita menulis di media yang tingkat persaingannya rendah, jangan pernah karena alasan mudah menembusnya. Alasan semacam ini selain membuat kita tidak puas, juga membuat kita semakin tidak percaya diri. Lama- lama kita malah mengalami ketakutan untuk memasuki persaingan yang kita. Pada akhirnya kita benar-benar tidak mampu menghasilkan tulisan yang enak dibaca dan perlu. Inilah fenomena ketidakberdayaan karena kita merasa tidak berdaya. Selligman menyebutnya sebagai learned hopelessness (ketidakberdayaan yang dipelajari).

Ketika pertama kali mau menulis buku untuk diterbitkan, tahukah apakah yang saya lakukan? Saya cari informasi penerbit terbaik dan paling sulit ditembus. Waktu itu, jawabannya adalah Penerbit Mizan. Maka saya pun memancangkan tekad, saya akan menulis buku yang layak untuk Penerbit Mizan. Alhamdulillah, naskah saya diterima, cukup meledak di pasaran, dan cetakan kedua dibeli seluruhnya oleh proyek pusat perbukuan pemerintah.

Belajar Dari Kesalahan Sendiri

Orang-orang yang memiliki mental pemenang selalu berusaha untuk lebih daripada sebelumnya. Artinya, kita berusaha lebih baik bukan dibanding orang lain, tetapi dibanding diri sendiri. Jika merasa lebih baik daripada orang lain akan segera mengubur kehebatan kita ke

jurang yang paling dalam, berusaha untuk selalu lebih baik daripada sebelumnya akan membuat kita menjadi a few good ones (sekelompok kecil penulis-penulis terbaik).

Salah satu cara untuk selalu lebih baik daripada sebelumnya adalah dengan belajar dari kesalahan diri sendiri. Dulu, ketika awal-awal menulis di media massa, saya selalu menyimpan tulisan asli. Bila dimuat, masalah pertama yang saya perhatikan adalah, adakah perbedaan antara tulisan asli dengan tulisan yang sudah dimuat. Jika ada perbedaan, perhatikanlah dengan seksama apakah perbedaan itu karena kelalaian editor ataukah karena tulisan kita memang perlu disempurnakan. Bagaimana mengetahuinya? Kita bisa menalar sendiri, tetapi bisa juga menemui editornya. Melalui cara ini, insya-Allah kualitas tulisan kita akan bisa meningkat dengan cepat.

Cara lain adalah mencari naskah yang terbuang. Di awal karier saya menulis, saya merasa senang bila menemukan tulisan yang dibuang di tempat sampah editor. Dibanding membaca karya-karya yang sudah terbit, tulisan yang terbuang di tempat sampah seringkali memberi pelajaran yang lebih banyak (soalnya, kadang tulisan kita dimuat kan karena kasihan. He… he… he….).

Apalagi yang perlu kita perhatikan untuk membangkitkan kehebatan kita sebagai penulis? Ada empat hal. Tetapi karena terbatasnya halaman, insya-Allah kita akan berjumpa di An-Nida' edisi depan. So, don't miss it! OK?

Sebelum berpisah, jangan lupa: Be the best, but not the better. Jadilah yang terbaik, tapi bukan yang lebih baik. Daaaagh...[]

Tulisan Asyik, Pembaca Tertarik

[Kiat menulis untuk pembaca remaja]
Oleh: O. Solihin

Aktivitas menulis termasuk salah satu dari sekian banyak aktivitas yang bisa menyenangkan. Menulis tidak saja menyenangkan, tapi juga sekaligus menyegarkan semangat hidup. Betapa tidak, menulis menumbuhkan kebahagiaan tersendiri bagi penulisnya karena sudah bisa berbagi apa saja dengan pembacanya. Itu sebabnya, agar informasi itu bisa sampai ke pembaca dengan baik, benar, dan menghibur diperlukan kiat-kiat khusus yang sebetulnya bisa dipelajari melalui latihan rutin. Sebab, menulis itu adalah bagian dari keterampilan, maka jika kita terus melatih diri untuk mengembangkan kemampuan, insya Allah akan banyak peluang untuk melakukan inovasi terhadap tulisan yang kita buat.

Tulisan paling asyik menurut saya adalah tulisan yang bisa mengena di hati pembaca kita. Itu sebabnya, segmentasi sangat diperlukan. Karena memang kita tidak bisa menjangkau semua lapisan pembaca dengan gaya tulisan tertentu. Tulisan-tulisan saya lebih banyak diarahkan untuk konsumsi remaja. Tentunya ada alasan. Pertama, karena pasar remaja sangat besar. Kedua, ingin berbagi ilmu dan pengalaman dengan teman-teman remaja, mengingat mereka adalah generasi harapan di masa depan. Berbagi ilmu dan pengalaman ini sangat penting, karena sebagian besar teman remaja memang membutuhkannya. Apalagi di tengah gempuran budaya asing yang tak bisa dengan mudah dihindarinya. Pendek kata butuh bimbingan dan arahan. Alasan seperti inilah yang membuat saya lebih fokus mengarahkan tulisan untuk konsumsi remaja.

Bermesraan dengan remaja

Jangan bayangkan Anda bisa lebih mudah mengelola remaja. Sebab, remaja itu banyak maunya. Bahkan sangat cepat berubah-ubah. Cuma satu yang tak berubah dari remaja: Ceria! Ya, masa remaja identik dengan ceria. Seolah begitu mudah melupakan masa-masa sulit. Belajar saja sering cuma jadi tempelan, karena di sekolah pun mereka lebih banyak meghabiskan waktunya untuk sosialisasi dengan temannya dan membicarakan beragam pernak-pernik kehidupan mereka. Jujur saja, itu pun pernah saya rasakan.

Sebagai penulis yang akan menyampaikan informasi sebagai sarana pendidikan kepada remaja, kita perlu merinci apa saja yang membuat mereka tertarik terhadap sebuah produk, khususnya tulisan. Sejauh pengalaman saya dalam menulis artikel nonfiksi untuk remaja, menemukan hanya dua icon yang tak boleh dilepaskan dari dunia remaja: ringan dan ngemong.

Kenapa harus ringan dan ngemong? Setidaknya memang ini analisis saya. Ringan artinya tema yang disodorkan kepada teman-teman remaja harus ringan. Atau jika pun masalah tersebut berat, harus dipaksakan dibuat sesederhana mungkin dalam menyampaikannya. Buku saya, Jangan Jadi Bebek, pernah dikomentari Pak Adhiyaksa M Dault (sekarang menjadi Menpora), waktu beliau menjadi panelis bersama saya dalam acara bedah buku tersebut. “Tema-tema yang dibahas di buku ini sebetulnya cukup berat bahkan beberapa memang berat, tapi penulisnya mampu mengkomunikasikannya dengan gaya bahasa yang ringan.” Saya tidak bermaksud memuji diri sendiri, tapi kenyataannya memang demikian. Ini sekadar berbagi pengalaman saja.

Kemudian unsur kedua adalah ngemong. Teman remaja paling nggak suka kalo membaca tulisan yang kesannya menggurui, apalagi mungkin menghakimi. Mereka lebih senang diajak ngobrol. Bertutur apa saja sehingga tanpa terasa ajaran dan ilmu-ilmu Islam yang kita sampaikan masuk ke alam pikirannya tanpa ada kesan didoktrin. Memang ini tidak semua remaja demikian, tergantung latar belakang pendidikan dan budaya mereka. Tapi rata-rata (bahkan dengan jumlah yang mayoritas), mereka adalah remaja yang tak suka didoktrin.

Dua kunci ini saya jadikan patokan untuk membimbing remaja lewat bacaan hasil tulisan saya. Maka, ketika buku pertama saya masuk ke penerbit, saya meminta dengan setengah memaksa, bahwa gaya bahasa dalam tulisan saya tak boleh diubah. Biarkan seperti apa adanya. Karena memang remaja lebih suka pake EYD (ejaan yang dipaksakan). Lebih suka bahasa gaul. Lagi pula, ini hanya sekadar jembatan untuk mengkomunikasikan pesan saja.

Jangan lupakan isi

Sobat muda muslim, meski kita konsentrasi kepada gaya bahasa yang “gaul” dan ringan khas remaja. Tapi kita jangan lupakan isi dari tulisan kita. Karena isi justru inti dari pesan kita. Untuk pembaca remaja, saya punya dua kebijakan. Pertama, menyampaikan gagasan dalam bentuk wacana saja. Kedua, gagasan yang bersifat solusi praktis.

Wacana, saya mengenalkan Islam sebagai solusi. Itu sebabnya dalam buku Jangan Jadi Bebek, Jangan Jadi Seleb, dan Jangan Nodai Cinta lebih terkesan “brainstorming” karena memang saya ingin mengubah persepsi terlebih dahulu sehingga mampu membentuk kerangka berpikir yang utuh bagi pembaca tulisan saya. Diharapkan pula bahwa persepsi ini akan menumbuhkan pola pikir yang stabil dalam menilai setiap persoalan, dan cuma Islam yang bisa dijadikan solusi sistemik dan praktis.

Mengenai solusi praktis, saya juga mulai memunculkannya di buku Bangkit Dong, Sobat! (insya Allah sebentar lagi akan terbit). Semoga dengan dua kebijakan tersebut bisa saling melengkapi untuk tercapainya pesan yang utuh.

Sobat muda muslim, untuk masalah isi ini kita harus tegas, meski harus dihindari kesan arogan atau menekan. Asal bisa menyampaikannya dengan gaya bahasa ringan dan rileks, insya Allah masih tetap diminati remaja. Dengan demikian, isi dan gaya bahasa menjadi faktor yang tak boleh diabaikan.

Nonfiksi-fiksi; depan bisa belakang bisa!

Tak jarang orang yang sudah terbiasa menulis nonfiksi akan sangat kesulitan menuliskan gagasannya dalam bentuk karya fiksi. Begitu pun sebaliknya. Memang, fokus dalam satu jalur itu cukup bagus. Bahkan akan sangat membantu proses penguatan citra diri dan menambah pengembangan kemampuan menulisnya. Tapi, tak ada salahnya, tak ada dosanya, dan juga tak ada ruginya jika akan menjajal kedua-duanya.

Ada beberapa kiat yang pernah saya coba praktekkan, siapa tahu bisa juga dijadikan pertimbangan untuk dicontek (dan dimodifikasi lagi) sama teman-teman:

  1. Menyesuaikan porsi bacaan. Saya meyakini bahwa jenis bacaan sedikit atau banyak akan mempengaruhi pembacanya. Harus saya akui bahwa saya lebih sering tertarik dengan bacaan yang memerlukan analisis dan berita, sehingga ini mempengaruhi model tulisan saya yang memang lebih banyak nonfiksi. Jadi, untuk yang ingin menulis nonfiksi, silakan lebih banyak melahap bacaan atau informasi yang bersifat analisis-berita dengan porsi lebih ketimbang fiksi. Begitu juga sebaliknya.
  2. Untuk nonfiksi, seringlah berlatih menggunakan kata-kata yang tak bersayap. Tegas, jelas dan harus rela “menghilangkan” unsur bahasa sastra. Untuk fiksi, tentu harus berlatih dan mengkoleksi kata-kata kiasan, dan lebih banyak mengumpulkan bahasa sastra.
  3. Daya imajinasi pada tulisan nonfiksi dibatasi dengan realita dan hukum tertentu. Pada fiksi, seringkali harus mendramatisasi kenyataan. Jadi, silakan mengasah daya imajinasinya masing-masing untuk kedua jenis tulisan ini.
  4. Latihan yang cukup. Mengubah kebiasaan itu tak mudah memang. Tapi silakan berlatih menulis untuk jenis tulisan yang belum dikuasai dengan porsi lebih banyak ketimbang jenis tulisan yang saat ini dikuasai.
  5. Paling utama adalah menancapkan tekad dan niat dengan kuat. Ini yang paling sulit dibentuk, tapi jika sudah nyetel, juga paling sulit dihentikan.

Selamat mencoba. Karena yang terpenting bukan untuk didiskusikan saja, tapi wajib dipraktekkan. Go! Menulis Go! Wallahu’alam[]