Penulis buku-buku best seller, antara lain Kupinang Engkau dengan Hamdalah, Kado Pernikahan untuk Istriku, Indahnya Pernikahan Dini dan Agar Cinta Bersemi Indah
Banyak penulis berbakat, tetapi tidak mampu membuat tulisan yang hebat. Mereka pernah menjadi juara di berbagai sayembara mengarang; mereka memperoleh penghargaan di berbagai perlombaan; mereka menumpuk piala-piala di ruang tamunya, tetapi tak satu pun karya berharga yang mampu mereka tulis. Selebihnya, piala-piala itu hanya menjadi kisah membanggakan untuk penghias cerita saat datang kenalan.
Apa yang menyebabkan mereka gagal menjadi penulis handal? Mental. Karena tidak memiliki mental pemenang, mereka gagal menjadi penulis cemerlang. Apa saja yang perlu kita miliki agar dapat melahirkan tulisan yang selalu dicari-cari? Inilah beberapa hal yang perlu kita perhatikan untuk melejitkan kehebatan kita sebagai penulis:
Jadi yang Terbaik, Bukan yang Lebih Baik
Ada dua penyakit yang sering membuat kita tak pernah melejit, yakni banyak mengeluh atau sebaliknya terlalu cepat merasa puas. Banyak mengeluh membuat kita tidak pernah puas, dan akhirnya menjadikan kita tak pernah memiliki rasa percaya diri bahwa tulisan kita cukup berharga. Kita selalu merasa lebih jelek, sehingga tidak pernah berani mempublikasikan. Sebaliknya, terlalu cepat merasa puas membuat kita tidak berkembang. Kita merasa cukup sebelum melakukannya secara optimal. Kita merasa qana'ah, padahal sebenarnya merupakan sikap
seenaknya.
Penyakit terakhir ini sering saya temui pada banyak penulis. Mereka lebih hebat dari saya, tetapi mereka tidak mampu melahirkan karya dahsyat. Sebabnya sederhana, mereka menganggap tulisannya lebih baik dari orang lain. "Ah, saya kira sudah cukup. Banyak yang lebih sederhana dari ini, juga bisa terbit." Alhasil, karya mereka pun hanya menjadi karya "yang sedang-sedang saja", meskipun awalnya memang lebih baik dari orang lain.
Nah, jika kita ingin melahirkan karya yang memikat, ada satu sikap mental yang perlu kita miliki. Saya sering menggambarkannya dalam ungkapan if the best is excellent, good is not enough. Sederhananya, jika mampu melakukan yang terbaik, tidak layak melakukan yang sekedar baik. Meskipun "yang sekedar baik" itu sudah jauh lebih baik daripada seluruh tulisan yang ada, tak layak kita menuliskannya jika kita memang mampu melahirkan tulisan yang lebih baik lagi.
Alhasil, camkanlah untuk selalu menulis dengan sebaik-baiknya. Ini tidak berarti kita berhenti menulis bila kita sedang sakit karena khawatir tulisan kita tak sebaik kemarin. Tetapi, kita harus menulis dengan sebaik-baiknya sesuai keadaan kita saat itu. Kita melakukan yang terbaik jika kita meraih nilai tujuh karena memang kemampuan maksimal saat ini adalah tujuh, meskipun kemarin kita mampu meraih nilai sembilan. Sebaliknya, nilai delapan saat ini bisa merupakan prestasi yang menyedihkan kalau sebenarnya kita mampu meraih nilai sepuluh.
Termasuk mental untuk menjadi yang terbaik adalah berusaha melahirkan tulisan terbai untuk media yang terbaik pula. Kalau kemudian kita menulis di media yang tingkat persaingannya rendah, jangan pernah karena alasan mudah menembusnya. Alasan semacam ini selain membuat kita tidak puas, juga membuat kita semakin tidak percaya diri. Lama- lama kita malah mengalami ketakutan untuk memasuki persaingan yang kita. Pada akhirnya kita benar-benar tidak mampu menghasilkan tulisan yang enak dibaca dan perlu. Inilah fenomena ketidakberdayaan karena kita merasa tidak berdaya. Selligman menyebutnya sebagai learned hopelessness (ketidakberdayaan yang dipelajari).
Ketika pertama kali mau menulis buku untuk diterbitkan, tahukah apakah yang saya lakukan? Saya cari informasi penerbit terbaik dan paling sulit ditembus. Waktu itu, jawabannya adalah Penerbit Mizan. Maka saya pun memancangkan tekad, saya akan menulis buku yang layak untuk Penerbit Mizan. Alhamdulillah, naskah saya diterima, cukup meledak di pasaran, dan cetakan kedua dibeli seluruhnya oleh proyek pusat perbukuan pemerintah.
Belajar Dari Kesalahan Sendiri
Orang-orang yang memiliki mental pemenang selalu berusaha untuk lebih daripada sebelumnya. Artinya, kita berusaha lebih baik bukan dibanding orang lain, tetapi dibanding diri sendiri. Jika merasa lebih baik daripada orang lain akan segera mengubur kehebatan kita ke
jurang yang paling dalam, berusaha untuk selalu lebih baik daripada sebelumnya akan membuat kita menjadi a few good ones (sekelompok kecil penulis-penulis terbaik).
Salah satu cara untuk selalu lebih baik daripada sebelumnya adalah dengan belajar dari kesalahan diri sendiri. Dulu, ketika awal-awal menulis di media massa, saya selalu menyimpan tulisan asli. Bila dimuat, masalah pertama yang saya perhatikan adalah, adakah perbedaan antara tulisan asli dengan tulisan yang sudah dimuat. Jika ada perbedaan, perhatikanlah dengan seksama apakah perbedaan itu karena kelalaian editor ataukah karena tulisan kita memang perlu disempurnakan. Bagaimana mengetahuinya? Kita bisa menalar sendiri, tetapi bisa juga menemui editornya. Melalui cara ini, insya-Allah kualitas tulisan kita akan bisa meningkat dengan cepat.
Cara lain adalah mencari naskah yang terbuang. Di awal karier saya menulis, saya merasa senang bila menemukan tulisan yang dibuang di tempat sampah editor. Dibanding membaca karya-karya yang sudah terbit, tulisan yang terbuang di tempat sampah seringkali memberi pelajaran yang lebih banyak (soalnya, kadang tulisan kita dimuat kan karena kasihan. He… he… he….).
Apalagi yang perlu kita perhatikan untuk membangkitkan kehebatan kita sebagai penulis? Ada empat hal. Tetapi karena terbatasnya halaman, insya-Allah kita akan berjumpa di An-Nida' edisi depan. So, don't miss it! OK?
Sebelum berpisah, jangan lupa: Be the best, but not the better. Jadilah yang terbaik, tapi bukan yang lebih baik. Daaaagh...[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar