Rabu, 11 Juli 2007

Menulis Hasil Wawancara

Oleh: O. Solihin


Sebenarnya nggak terlalu beda jauh, antara menulis berita, feature, dengan hasil wawancara. Cuma, kayaknya yang membuat beda itu adalah bagaimana merangkum semua hasil ‘obrolan’ kita dengan narasumber yang kita wawancarai. Untuk bisa menuliskan hasil wawancara dengan oke dan enak dibaca, ada beberapa tahapan yang kudu diperhatikan sebelum melakukan wawancara. Sebab, melakukan wawancara adalah satu bagian dalam proses penggalian bahan tulisan. Kita harus bisa mengeksplorasi seluruh kemampuan kita untuk menggali ide-ide yang tertanam dalam benak narasumber kita. Apalagi, jika narasumber yang kita wawancara termasuk tokoh penting dan udah ngetop di kalangan banyak orang.

Nah, ada beberapa persiapan awal sebelum wawancara yang bisa Anda lakukan. Pertama, menentukan topik. Jelas dong, jangan sampe Anda datang ke narasumber dengan ‘kepala kosong’. Ini bakalan menjadi blunder buat Anda yang nekat datang tanpa menentukan topik wawancara. Bukan hanya narasumber yang bakalan bingung, tapi Anda juga akhirya cuma bengong. Sama halnya dengan kalo Anda naik panggung untuk ngisi presentasi, tapi dengan ‘kepala kosong’. Hasilnya, mudah ditebak, Anda bingung! Tul nggak? Kata William Shakespeare, “Barangsiapa yang naik panggung tanpa persiapan, maka ia akan turun dengan kehinaan,” Walah?

Sobat muda muslim, langkah kedua dalam persiapan melakukan wawancara adalah menyiapkan ‘pertanyaan jitu’, ada sebagian wartawan menyebutnya ‘pertanyaan peluru’ (loaded question). Ini akan menentukan tingkat kemampuan si pewawancara. Bahkan sangat boleh jadi akan menghasilkan isi wawancara yang berbobot. Apalagi tokoh yang kita wawancarai memang terkenal dan berpengaruh. Tapi harap diingat dong, bahwa jangan sampe kita terpaku kepada rumusan pertanyaan yang udah kita buat. Itu bisa menjebak kita nantinya dalam kekakuan. Tapi, pastikan bahwa Anda dapat mengembangkan pertanyaan lain saat wawancara terjadi. Jadi bisa bersumber dari pertanyaan narasumber.

Nah, sekarang kita belajar menuliskan hasil wawancara. Untuk mendapatkan tulisan berupa wawancara yang baik, tentunya kita kudu mendapatkan sedetil-detilnya segala macam yang ‘melekat’ pada narasumber. Setelah melakukan wawancara, biasanya ada kesempatan untuk rileks. Nah, di situlah Anda bisa tanya ‘ini-itu’ dari narasumber; misalnya warna favoritnya, olahraga kesukaannya, makanan kesukaannya, tokoh idolanya, pendidikannya, keluarganya, aktivitasnya, pengalaman-pengalaman unik yang dialaminya, dsb. Dengan catatan, jika wawancara ini bersifat ‘eksklusif’, yakni cuma Anda, atau media tempat Anda kerja aja yang melakukan wawancara dengan narasumber tersebut. Kalo wawancara sambil lalu, maka untuk mendapatkan detil dari yang ‘melekat’ pada dirinya, Anda bisa baca via sumber lain yang menceritakan narasumber tersebut. Jadi tenang aja, apalagi jika media massa tempat Anda kerja punya dokumentasi lengkap, maka akan mudah untuk berkreasi dalam menulis hasil wawancaramu.

Sobat muda muslim, kita juga bisa ‘memodifikasi’ tulisan wawancara. Tujuannya supaya pembaca enak untuk menyimaknya. Misalnya begini. Dalam kenyataan saat wawancara, kita mengajukan pertanyaan yang adakalanya panjang banget kan? Biasanya itu dilakukan untuk memperjelas maksud. Nah, dalam tulisan hasil wawancara, tidak perlu ditulis semua pertanyaan kita sesuai rekaman di kaset. Anda bisa memotongnya dengan tanpa mengurangi maksud dari pertanyaan. Contoh: “Bapak bisa jelaskan masalah yang menimpa anak muda sekarang, misalnya dalam masalah pergaulan?” Ini yang kita ucapkan kepada narasumber. Tapi, dalam tulisan hasil wawancara, kita persingkat saja jadi begini, “Bisa dijelaskan pergaulan remaja sekarang?” Lebih hemat kan?

Bisa juga ‘modifikasi’ itu kita lakukan dalam ‘membagi’ jawaban narasumber ke dalam beberapa bagian ‘pertanyaan buatan’ kita. Ini terjadi jika jawaban narasumber kelewat panjang. Nah, supaya pembaca nggak jenuh dengan panjangnya jawaban, maka kita buatkan ‘pertanyaan pembantu’ untuk membagi jawaban tersebut. Tentu dengan tidak menghilangkan maksud dari jawaban narasumber dong. Sekali lagi, ini sekadar mengatasi kejenuhan pembaca.

Terus, yang bisa kita lakukan dalam menulis hasil wawancara adalah mengkreasikan data-data. Supaya tambah ciamik, maka dalam tulisan itu, kita selipkan profil narasumber. Misalnya, “Bapak sembilan anak yang rajin membaca buku ini, terlihat masih segar di usia tuanya. Setiap hari, ia berkeliling komplek perumahan untuk sekadar berolaharga jalan kaki kesukaannya. Suami dari ….. (sebutkan nama istrinya) kelahiran Jakarta 50 tahun silam itu kini aktif sebagai pengurus Partai …. (sebutkan nama partai tempat ia bergabung dan jabatannya)”

Anda bisa buat tulisan tambahan seperti itu sekitar 3 buah. Boleh juga dipadu dengan biodata singkatnya yang ditulis dalam sebuah kertas (minta saja bagian tataletak untuk men-scan kertas tersebut untuk diselipkan dalam lay-out rubrik wawancara tersebut). Pokoknya, buatlah semenarik mungkin hasil kreasimu. Tiap wartawan biasanya punya kreasi tersendiri. Selama itu memang menarik, kenapa tidak? Tul nggak?

Tulisan hasil wawancara akan lebih menarik jika Anda pandai mengolah kata, gabungkan dengan tip yang sudah saya sampaikan di awal; membuat judul, hemat kata, dan tentunya kaya dengan kosakata. Ditanggung antimanyun deh.

Oke, sekarang mulailah menyiapkan segalanya untuk wawancara. Sudah siap? Yup, sebelum lupa, yang penting lagi sebelum melakukan wawancara adalah mental. Selain kudu percaya diri, Anda juga ‘wajib’ punya mental juara. Sebab, adakalanya narasumber itu ‘ngerjain’ kita. Saya dan seorang teman pernah melakukan wawancara dengan Pak Amien Rais (waktu itu masih Ketua PP Muhammadiyah). Wuih, sampe empat kali bolak-balik Bogor-Jakarta. Jadi, nggak mesti sekali jadi. Maklumlah tokoh penting. Akhirnya dapet juga, meski dengan susah payah. Kejar terus sampe dapet! []