Senin, 02 Juli 2007

Konsentrasi dan Bekerja

Untuk melamar pekerjaan, memang perlu sejumlah syarat. Ada ijasah,a da pas foto, dan macam-macam lampiran yang kadang-kadang tidak relevan. Tetapi untuk mengarang, Anda tak perlu harus sarjana, pengalaman sekian tahun, atau punya kartu pers. Penggunaan gelar dan surat-surat keterangan sangat berguna kalau Anda tidak punya nyali.

Tulisan yang buruk tak dapat diperbaiki hanya dengan cara menempelkan gelar Prof. Dr. di depan nama penulisnya. Penulis tulen tidak akan menakut-nakuti pembacanya dengan pangkat, titel, apalagi ancaman bahwa ia orang sakti. Masyarakat tidak bisa dikecoh bungkusan bagus, tanpa isi.

Cendekiawan sejati biasanya justru mengakrabkan diri dengan masyarakat luas. Misalnya dilakukan oleh Aryanti. Siapa mengira kalau penulis cerpen dan novelis ini adalah ahli Sansekerta terkemuka di dunia, dan pernah menjadi Menteri Sosial RI. Dia adalah Prof. Dr. Haryati Soebadio.

Keyakinan bahwa yang penting penampilan hanya benar bagi calon pengarang gagal. Yang penting tetap isi. Teknik yang kuat ibarat pot yang menentukan ukuran tanaman. Sebatang palem raja tidak mungkin ditanam dalam pot tanah liat kecil. Sebaliknya selembar daun bawang cukup disuburkan dalam bekas kaleng susu. Begitu pula sebatang cabe rawit dan seledri.

Dengan kata lugas: teknik akan mengikuti isi. Untuk mengungkapkan masalah besar, tidak mungkin Anda memilih format iklan baris. Sebaliknya, sepotong anekdot akan hilang daya lucunya, bila dimuat bersambung seperti roman.

Memilih topik

Topik apakah yang baik dipilih untuk buku harian? Kiat paling umum adalah menulis sesuatu yang paling berkesan. Itu bisa menggembirakan, menyedihkan, menjengkelkan atau membosankan. Pengalaman pertama di kantor baru, biasanya memberi peluang kita menulis panjang-panjang. Segala sesuatu yang masih baru memang bisa dibicarakan panjang lebar. Itu bisa berarti rumah baru, tahun baru, kenalan baru, hidup baru, maupun hutang baru.

Segala sesuatu yang baru pertama kali terjadi sering dianggap penting. Penulis buku harian yang baik, perlu memilih dan mengolah hal-hal terbaru apa yang dialaminya hari ini. tanpa kemauan dan keinginan memilih hal baru, buku harian akan jadi PR menulis halus. Artinya: mengulang-ulang kaimat kemarin saja. Sedangkan kalau Anda pandai mencari topik baru, siapa tahu bakal jadi wartawan.

Topik-topik tidak usah dibeli. Anda bisa memperolehnya dari dalam kepala atau mati hati sendiri. Boleh juga mendengar atau baca kanan kiri. Kalau sukar, belilah koran, bacalah judul-judulnya. Cari satu yang menarik dan kembangkan dengan cara sendiri. Siapa tahu Anda bisa menulis versi lain dari berita peresmian pabrik kacamata. Atau membuat reportase fiktif korban perkosaan. Atau menyusun pidato seolah-olah Anda menteri penerangan bayangan. Siapa tahu tiba-tiba Anda betul-betul harus menyusun pidato pemakaman, perceraian, dan ulangtahun anak tetangga.

Di dunia ini banyak hal yang tak terduga. Dan itu yang membuat orang bisa hidup jadi pengarang. Kalau semua sudah serba pasti, semua calon pengarang boleh jadi pilot. Yang membuat dunia mengarang unik adalah tidak adanya kepastian mutlak. Semua masih serba kemungkinan. Berbagai kemungkinan inilah yang membuat orang suka menerima surat.

Tinggal sekarang, bagaimana menyajikan berbagai kemungkinan itu dalam surat yang kita kirim. Surat yang pasti-pasti, biasanya tidak menarik. Orang menyebutnya sebagai surat dinas. Isinya bisa keputusan naik pagkat, lamaran ditolak, naik gaji, dipecat atau perintah harian. Kenikmatan membaca surat dinas, biasanya terpusat pada nomor surat dan perihalnya. Selebihnya bikin saja fotokopi banyak-banyak, supaya ikut dinikmati mertua.

Itulah pentingnya topik untuk surat dinasa. Untuk artikel lain lagi. Topik bisa dicari sesuai dengan minat Anda. Kalau Anda berminat menulis rahasia kecantikan. Tidak usah bicara. Jangan ngomong kepada siapa pun, langsung saja tulis. Topik adalah rahasia jangka panjang yang baru boleh diumumkan sesudah sebagian terwujud dalam tulisan.

Topik surat, buku harian, artikel, buku, cerpen, novel, puisi, adalah soal mudah. Apa saja bisa ajadi topik. Kalau semasih kanak-kanak Anda bisa membuat apa saja jadi mainan, maka setelah dewasa, segalanya bisa jadi karangan. Batu, embun, sungai, kucing, rumah, sambal terasi, semua bisa jadi topik menarik.

Yang penting Anda mau diam dan menulis. Semua pasti keluar dengan sendirinya. Banyak orang merasa sudah siap mengarang. “Isinya sudah tahu, judulnya sudah siap, bahan-bahannya lengkap. Tinggal nulis saja,” katanya. Kalau Anda seorang penerbit, tamu yang berkata seperti itu tak usah diberi minum. Suruh dia lekas pulang, dan kembali esok pagi, membawa semua yang konon “sudah ada” padanya.

Masalah umum untuk mengarang bukan topik, bukan bahan, bukan juga teknis menulis. Masalah inti buat calon pengarang adalah duduk tenangm berkonsentrasi dan menuangkan isi pikiran, perasaan secepat-cepatnya. Kalau tidak ditulis sekarang, mau kapan lagi? Besok perasaan Anda sudah berubah. Minat berganti, dan mungkin kiamat.

Kerangka tulisan

Di sekolah ada banyak guru yang bisa bicara panjang lebar tentang kerangka tulisan. Istilah populernya outline. Maksudnya adalah membuat garis besar buat karangan. Tapi kalau Anda ketemu pengarang seperti Putu Wijaya, Danarto, Yudhistira Massardi, dan Budi Darma, jangan tanya outline. Banyak pengarang tidak tahu dan tidak peduli, pada garis besar. Mereka menyuruh pembacanya membuat garis besar sendiri nanti kalau karangannya sudah jadi.

Tapi kalau Anda mau jadi penulis kontrak yag bekerja untuk bisnis penerbitan, jangan main-main masalah outline. Sebaiknya Anda rajin-rajin menabung garis besar. Buat saja rancangan buku sebanyak-banyaknya sampai Anda sendiri bigung mana yang harus ditulis duluan. Membuat rancangan itu pekerjaan sambilan buat pengarang sejati. Kalau ada waktu luang, bikin saja seolah-olah sebuah novel sudah jadi. Atau tuntunan pemsaran, psikologi terapan, teknologi tepat guna. Buku-buku pertanian, bisa juga Anda susun garis besarnya.

Misalnya Anda mau bicara tentant sawo. Mulai saja menyusun outline seperti ini:

  1. Sifat dan jenis sawo
  2. Cara memperoleh bibit sawo
  3. Hama tanaman sawo
  4. Perawatan dan panen
  5. Bisnis sawo dan pemasarannya.

Dari lima perkara itu Anda bisa menyusun buku minimal 50 halaman. Kalau

mau dilengkapi dengan foto-foto dan daftar pustaka, Anda bisa pertebal menjadi 70-an halaman. Lebih bagus lagi kalau bisa dilengkapi dengan teknik menanam sawo dalam pot, sejarah sawo, nutrisi sawo, dan data-data budidaya sawo di seluruh Indonesia.

Penerbit terkenal Penbar Swdaya di Jakarta, dengan mengerahkan tim penulis dapat memproduksi ratusan buku praktis macam itu. Ada buku tentang tomat, asparagus, kelinci, jambu, jeruk, jamur, atau apa saja yang melintas di kepala Anda. Dan buku-buku semacam itu laris. Mengapa? Karena selalu saja ada orang yang ingin beternak belut, dan berjualan mentimun. Percayakah Anda bahwa buku “Beternak Lele Dumbo” bisa laku 900 eksemplar per bulan, dan harus dicetak 10.000 buku setiap tahun?

Topik-topik di lapangan komputer, manajemen, keagamaan, juga banyak diminati orang. Dari sepuluh ribu buku terbita anggota IKAPI 1992, hampir seperlima adalah buku agama. Ini bukan hanya mencerminkan betapa religius bangsa Indonesia, tapi juga betapa asyiknya menulis masalah-masalah rohani. Khutbah Jumat, kuliah subuh, dan lain sebagainya yang memang selalu diperlukan oleh rakyat yang haus pegangan.

Kata orang yang rajin membaca, buku adalah pegangan. Atau obor, tongkat, kompas, atau teropong. Jadi jangan takut sukar menyusun outline. Kalau Anda tidak bisa bikin, pembaca yang akan mebuatkannya untuk Anda. Tugas Anda jadi lebih ringan: sekali lagi duduk, menulis apa saja. Apa saja. Adakalanya sesuai dengan minat, bakat, dan obesesi Anda. Kadang-kadang sama sekali tidak Adan minari. Misalnya: meningkatkan harga kodok dan kangkung, memasang kancing pada peragawan yang bawel, dan seterusnya.

Satu-satunya penghambat Anda dalam membuat outline adalah bagian pemasaran dan toko buku. Mereka suka ikut-ikutan menentukan, kira-kira buku apa yang bakal laris dan apa-apa yang bakal tidak dibeli orang. Kalau mereka sudah ngomong begitu, ada baiknya Anda membuat outline cadangan. Boleh selusin, boleh seratus versi tentang buku “Menanam Sawo di Pot dan di Kebun” dan “Beternak burung puyuh sambil memancing”.

Kosa kata

Yang menunjang keterampilan menyusun kalimat, adalah kekayaan kosa kata. Kosa kata ibarat saldo kekayaan seorang pengarang. Dengan kata-kata terbatas, Anda bisa membuat buku cerita anak-anak. Sedangkan dengan kosa kata lebih banyak, Anda bisa menyusun kamus. Lihat saja di toko buku, kamus bisa dicetak berulang-ulang. Padahal penyusunnya tidak pusing-pusing menyusun plot. Mencari topik, mengembangkan outline macam-macam.

Bukan itu. Tentu saja bukan hanya untuk menyusun kamus kita perlu banyak kosa kata. Chairil Anwar, Shakespearem Solzenitsyn, dianggap sangat berjasa karena membakukan dan memperkaya kosa kata pada bahasa masing-masing. Di masa mudanya, Rendra juga gemar menabung dan mengumpulkan kata-kata baru baru setiap hari. Masyarakat Indonesia modern juga sangat kreatif dan mampu menghidupkan kembali kata-kata yang sudah mati. Contoh: kata pakar dipakai lagi untuk menyebut “orang pintar”.

Padahal kata itu sudah lama mati. Begitu juga kata sangkil (efisien), mangkusrenjana (bersedih), citra (gambaran), yang banyak dipakai pada abad lalu tetapi berangsur-angsur dilupakan. Sekarang kata-kata itu populer lagi. Sementara penciptaan kata baru juga melaju. Penambahannya tidak terasa, seperti kata anda, santai, kasus dan seterusnya. (efektif),

Celakanya kita perlu mengenal pagar. Tidak semua kata boleh dipakai dalam kalangan pembaca yang fanatik pada “adat ketimuran”. Banyak kata boleh diucapkan, tapi tak boleh ditulis. Kalau kata-kata itu ditulis juga, pembaca bilang kita tidak sopan, jorok, kurangajar, bahkan tak tahu adat. Jadi hati-hati membelanjakan kosa kata Anda.

Kata-kata sebagus tahu kucing, babi, monyet, bahkan sapi pun kalau salah tarus bisa dicoret ibu guru. Apalagi bial sampai menyakiti orang, pasti kena sensor. Kebudayaan sensor adalah satu pagar bagi pengarang. Entah kapan penulis-penulis hebat sekaliber Anda bisa menyingkirkannya. Atau justru sebaliknya: dapatkah Anda menyebarkan santun berpikir ke seluruh penjuru dunia?[]

Catatan: Disadur dari buku “Menggebrak Dunia Mengarang”, karya Eka Budianta, hlm. 21-29.

Tidak ada komentar: